Jakarta, 20/9/17 (SOLUSSInews) – Ketersediaan infrastruktur yang mendukung kualitas kehidupan komunitas, termasuk di dalamnya adanya mobilitas serta akses mumpuni bagi warga terhadap sentra-sentra kerja, bisnis, hiburan maupun rohani, merupakan suatu idaman kekinian banyak orang.
Publik lalu menjurus pada kebutuhan akan kota modern, kota pintar dan kompleks sosial yang terintegrasi. Yakni, kota yang menawarkan integrasi antara ruang terbuka hijau memadai, hunian, dan pembangunan infrastruktur, termasuk sistem jalan, sarana transportasi, pusat bisnis, dimana semua itu menunjang mobilitas penghuni sebuah kota modern.
Singkat cerita, banyak kalangan ingin tinggal di kota modern dengan infrastruktur yang menunjang kualitas kehidupan dan mobilitas warganya seperti itu.
Jakarta, riwayatmu kini?
Agaknya kota kebanggaan kita ini tampak semakin kewalahan untuk mewujudkan dirinya sebagai kota idaman masyarakat urban tersebut.
“Kami butuh kota baru yang lebih manusiawi. Asal seperti yang sedang dibangun di Cikarang-lah, harganya terjangkau, lengkap sarana transportasinya, kawasan komersial dan pendidikan juga kesehatannya mumpuni, fasilitas wisata maupun hiburannya dekat pemukiman,” ungkap Rendi Sopyan, 34 tahun, Selasa (19/9/17), seorang bapak pengemudi taksi ‘online’, yang isterinya staf di sebuah kawasan industri.
Menjawab pertanyaan Tim ‘SOLUSSInews’ dan ‘BENDERRAnews’ yang diantarnya di tengah kondisi macet di kawasan Jakarta Timur, Rendi bilang: “Iya, ‘no problem’ bangun kota-kota baru, asalkan selengkap yang di Cikarang-lah. Kita bisa hidup lebih nyaman bersama keluarga,” tutur ayah dari dua anak, berusia tujuh dan empat tahun ini, yang sering komplain ke Ortu, karena amat terlambat sekolah akibat jalanan ‘crowded’, atau kemalaman pulang tumah sebab lalu lintas padat merayap dipicu aksi tawuran dan seterusnya.
Pendapat Rendi, diaminkan pakar perkotaan, Yayat Supriatna, yang pernah mengatakan, pengembangan kota baru harus juga memperhatikan utilitas sarana dan prasarana. Misalnya infrastruktur tansportasi, fasilitas kesehatan dan pendidikan.
“Selama kota baru memiliki itu, tidak ada masalah untuk dikembangkan,” demikian Yayat Supriatna.
Jakarta tidak mampu
Fakta menunjukkan, Jakarta dihadapkan pada tata ruang dan daya tampung Jakarta yang sudah tidak mampu lagi menampung derasnya arus urbanisasi.
Data Pemerintah menunjukkan, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia mencapai 4,1 persen, atau lebih tinggi dari Tiongkok di angka 3,8 perden, maupun India di 3,1persen.
Faktor lainnya, Jakarta sendiri merupakan ibukota yang sama sekali tidak direncanakan untuk menjadi kota metropolitan seperti sekarang ini. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan kota yang sporadis untuk menampung jutaan penduduk dan bisnis di dalamnya.
Berkah kota satelit
Kondisi obyektif tersebut menjadi berkah tersembunyi bagi kota-kota satelit lainnya untuk belajar dari Jakarta dalam membangun kotanya dengan perencanaan yang matang, seperti terjadi di Bangkok dan Kuala Lumpur.
Bangkok memiliki program ‘Bangkok 250’ untuk mendesain masa depan kota tersebut. Lalu Kuala Lumpur punya program serupa dengan nama ‘Kuala Lumpur Structure Plan 2020’.
Pemerintah Indonesia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah mempersiapkan solusi yang disebut Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN).
Rancang 100 kota
KSPPN ini mencanangkan pembangunan 100 kota modern di Indonesia pada 2050.
Terkait itu, Guru Besar Tata Ruang Universitas Indonesia(UI) Rudy Tambunan pernah mengatakan, integrasi Pemerintah Pusat (Bappenas) dan Pemerintah Kabupaten memainkan peran penting bagi terwujudnya pembangunan kota-kota modern seperti tertuang dalam KSPPN, yang menyertakan adanya integrasi antara ruang terbuka hijau yang memadai, hunian, dan pembangunan infrastruktur. Termasuk sistem jalan, sarana transportasi, pusat bisnis, yang menunjang mobilitas penghuni sebuah kota modern.
Rudy menilai, diperlukan sinergi kuat antara pemerintah, masyarakat dan kalangan bisnis.
Kuncinya ialah terus menciptakan dan menjaga sinergi tersebut.
Meikarta ‘compact city’
Salah satu contoh pembangunan kota modern itu ialah rencana proyek Meikarta yang dilakukan oleh Lippo Group di Cikarang.
Proyek ini meliputi pembangunan hunian, kawasan ruang terbuka hijau seluas 100 hektare serta sistem jalan yang mengadopsi sistem ‘grid’ seperti dilakukan di New York dan ‘compact city’ (memanfaatkan tanah semaksimal mungkin supaya sarana pendukungnya memadai).
Singapura merupakan contoh lain dari pembangunan kota modern yang terintegrasi itu. Sistem ‘grid’ ini dapat mewujudkan sinergi infrastruktur dengan aktivitas gaya hidup dari masyarakat secara lebih efisien.
“Sistem penataan ruang kota modern dapat mengakomodasi kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di daerah, contohnya pembangunan kereta cepat, dan dinamika pembangunan daerah. Dinamika di sini dalam artian menunjukkan manfaat ekologis dari penataan kepadatan bangunan,” kata Rudy di Jakarta Selasa (19/9/17), seperti dicuplik ‘KompasProperti’.
Sebar arus urbanisasi
Dengan terbangunnya kota-kota modern itu, diharapkan arus urbanisasi tidak lagi tertuju hanya ke Jakarta, tapi dapat tersebar secara merata ke kota-kota modern di sekitarnya.
Seperti yang diketahui, beberapa kabupaten sekarang ini mengalami limpahan penduduk setiap tahunnya ke kota-kota besar di sekitarnya.
Misalnya, banyak pekerja di Jakarta saat ini tinggal di kota-kota kabupaten di sekitar Jakarta seperti Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor dan Cikarang untuk mendapatkan harga hunian yang lebih terjangkau.
Jadi, jika kota-kota satelit yang ada di sekitar Jakarta mau mengadopsi konsep di atas dan mengintegrasikan rencana mereka dengan stakeholder terkait, pembangunan 100 kota modern sesuai dengan KSPPN dapat terwujud. Masyarakat pun punya alternatif pilihan untuk memulai hidupnya di kota idaman mereka. (S-KP/jr — foto ilustri istimewa)