Karawaci, 15/5/17 (SOLUSSInews): Kisah inspirasi kembali mengalir dari sosok ‘si manusia ide’, Mochtar Riady.
“…..Tidak boleh menerima pemberian seseorang tanpa alasan. Menerima pemberian tanpa sebab akan membuat kita bermental pengemis. Menerima pemberian seseorang baru wajar jika kita punya jasa. Menerima sesuatu sebagai imbalan perasan keringat akan membuat hidup kita nikmat. Kita pun akan berkembang menjadi manusia mandiri dan bermartabat…..”
“Sejak kecil, saya dididik keras oleh ayah untuk tidak menerima pemberian dari siapa pun tanpa alasan, termasuk dari keluarga dekat,” kata pendiri dan chairman Grup Lippo, Mochtar Riady dalam diskusi ringan dengan Investor Daily dan Beritasatu TV di Max Coffee, Lippo Karawaci pekan lalu.
Ajaran sang ayah terus mewarnai hidupnya hingga saat ini. Ia bahkan memiliki keyakinan, mental pengemis membuat seseorang tidak mampu keluar dari lumpur kemiskinan.
Jumat, 12 Mei 2017, Mochtar genap berusia 88 tahun. Sebuah usia yang tidak bisa dicapai oleh sebagian besar orang Indonesia, bahkan penduduk dunia. Pria yang sudah memiliki 22 cucu dan 48 cicit dari enam anak — tiga putra, tiga putri — ini masih tampak segar dan berbicara sistematis.
Pengalaman masa mudanya masih diingat dengan baik. Setiap hari ia berkantor dan memberikan arahan kepada stafnya di ‘Mochtar Riady Institute for Nanotechnology’ (MRIN), Karawaci, Tangerang, Banten.
Dalam usia yang kurang dua tahun menembus 90, Mochtar mengakui, sebagai pemimpin keluarga, warga negara, dan pengusaha, sudah banyak hal yang ia capai. Grup Lippo kini mempekerjakan lebih dari 110.000 karyawan yang bekerja secara langsung di berbagai perusahaan yang tersebar di sektor properti, perdagangan, keuangan, teknologi, telekomunikasi, media, pendidikan, dan kesehatan. Indonesia pun sudah berkembang menuju negara maju.
Namun, ada satu kenyataan di negeri ini yang membuat dirinya prihatin dan karena itu, ia merasa tugasnya belum selesai. Sejak masa anak-anak, ia ingin agar setiap warga negara hidup sejahtera. Meski tingkat kesejahteraan setiap orang tak mungkin sama rata — karena bakat, kerja keras, dan peruntungan setiap orang tidak sama — mestinya dalam sebuah negara tidak ada orang yang hidup miskin.
Situasi di Indonesia saat ini jauh dari ideal, karena ada kelompok yang kaya sekali, sedang di pihak lain, ada kelompok miskin absolut. Kesenjangan sosial sudah sangat tinggi seperti terlihat pada rasio gini 0,40. Semakin jauh dari angka satu, semakin menunjukkan tingkat kesenjangan. “Melihat kenyataan ini, saya merasa tugas saya belum selesai. Saya ingin memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara ini untuk memangkas jumlah penduduk miskin sekaligus mengurangi kesenjangan sosial,” ungkap pengusaha yang memulai mengembangkan bisnisnya dari nol itu.
Untuk menaikkan kesejahteraan rakyat sekaligus mengurangi kesenjangan sosial, demikian Mochtar, pembangunan ekonomi perlu difokuskan pada tiga sektor, yakni pertanian, industri, dan perdagangan. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Dengan membangun sektor ini, kesejahteraan petani akan meningkat. Tapi, membangun pertanian tanpa diimbangi kemajuan sektor perdagangan tak banyak manfaatnya bagi petani.
“Petani kita umumnya menjual produknya pada harga lebih murah dan membeli barang pabrikan pada harga lebih mahal. Ini adalah salah satu sumber kemiskinan,” ungkap Mochtar. Karena itu, untuk menyejahterakan petani, harga produk pertanian harus bisa dijual lebih tinggi dari barang pabrikan. Hanya dengan kondisi seperti ini, nilai tukar petani terus meningkat.
Solusi untuk mewujudkan gagasan ini adalah kehadiran toko di setiap desa dan penggunaan digital untuk mendapatkan informasi harga pasar dan penjualan secara online atau e-commerce. Penggunaan digital oleh para petani mampu memotong mata rantai perdagangan yang selama ini hanya menguntungkan para pedagang.
Dengan kehadiran toko di setiap desa yang dikelola sendiri oleh para petani, barang dari pabrikan bisa dijual lebih murah dan harga produk pertanian bisa dijual lebih mahal. Yang penting, pertanian dikelola dengan benar dan saat hendak dijajakan di toko, produk pertanian disortir dengan teliti. Produk pertanian dipisahkan berdasarkan ukuran dan dijajakan dengan indah agar sedap dipandang mata.
“Saya ingin berpartisipasi penuh mengangkat kesejahteraan petani dengan membantu membangun dan menerapkan e-commerce,” ungkap Mochtar. Ia sudah mengincar satu desa di Jawa untuk digunakan sebagai percontohan. Syaratnya, desa ini dekat dengan jalan raya atau stasiun kereta atau kedua-duanya. Akses transportasi sangat penting untuk memasok barang dan mengundang pelancong atau konsumen untuk belanja.
Pada tahap awal, kata Mochtar, ia akan membangun satu toko untuk diberikan cuma-cuma kepada para petani. Pihaknya juga memberikan bantuan teknis agar toko dikelola dengan baik, di antaranya melakukan sortir produk pertanian dan menjajakan dengan baik agar menarik dilihat. Ia juga membantu mendatangkan berbagai produk pabrikan dengan memotong mata rantai perdagangan agar petani bisa membeli dengan harga lebih murah.
Kehadiran toko akan membuat desa lebih hidup. Seiring dengan kenaikan kesejahteraan, petani akan memiliki rumah tinggal yang lebih baik. Tempat rekreasi untuk keluarga dan anak-anak muda dibangun, sehingga desa menjadi hidup. Urbanisasi akan berkurang karena di desa ada kesejahteraan dan hiburan. “Setelah satu desa sukses, desa yang lain akan meniru dan itu mudah,” papar Mochtar.
Industri perlu dibangun karena jumlah usia produktif di Indonesia mencapai sekitar 180 juta atau 69% dari total penduduk. Usia mereka berkisar 16-65 tahun dan sebagian besar di bawah 50 tahun. Bonus demografi ini perlu dimanfaatkan dengan membangun industri agar penduduk Indonesia yang sudah menembus 260 juta mengonsumsi produk yang dihasilkan sendiri selain untuk tujuan ekspor. Di samping itu, dengan lahan pertanian yang tidak bertumbuh, angkatan kerja baru yang keluar dari sektor pertanian akan meningkat. Sektor industri dan jasa harus dibuka luas untuk menampung mereka.
Agar bisa keluar dari kubangan kemiskinan, kata Mochtar, yang harus dikikis terlebih dahulu adalah mental pengemis. Setiap orang harus berusaha berdiri di atas kaki sendiri. Tidak boleh mengemis kepada orang lain, termasuk kepada pemerintah. Pihak lain hanya membantu. Mental mengemis membuat seseorang menjadi malas dan kehilangan semangat juang dan martabat.
“Rakyat miskin tidak boleh meminta-minta kepada pemerintah,” ujar Mochtar. Semua yang gratis dari pemerintah tidak mampu mengangkat nasib orang miskin, karena pemberian cuma-cuma membuat orang malas. Semangat kompetisi dan hidup mandiri mati. Pemerintah cukup memberikan kail, bukan ikan. Pemerintah cukup membangun infrastruktur, pelayanan kesehatan, akses pendidikan, dan pendampingan dalam usaha. Rakyat didorong untuk bekerja, mengerahkan semua kemampuan, dan meraih kemandirian.
Perintah istri
Kesehatan yang dimiliki tergantung sepenuhnya pada apa yang kita makan, apa yang kita minum, apa yang pikir, apa yang rasakan, dan apa yang katakan dan kita perbuat. Semuanya dilakukan dengan seimbang, terukur, tidak berlebihan. Dalam soal makan, misalnya, tidak ada jenis makanan yang ia pantang. Satu-satunya pantang adalah konsumsi yang berlebihan.
“Tak ada makanan yang saya pantang. Selama yang kita konsumsi seimbang, tak ada masalah dengan makanan,” jelas Mochtar. Selain asupan makanan yang seimbang, kesehatan perlu dijaga dengan tidur teratur dan oleh raga rutin. Dalam soal hidup sehat, ia mengaku banyak dipengaruhi oleh istrinya, Li Mei (Suryawati Lidya).
Suatu waktu, pola hidupnya berubah drastis, dari malas olahraga pagi menjadi orang yang ketagihan olah badan sejak pukul 05.00 pagi. Sang istri yang melihat suaminya terlalu gemuk, pura-pura minta ditemani olahraga pagi. Diminta orang yang dicintai menemani lari pagi, Mochtar tak kuasa menolak. Meski agak terpaksa, ia dengan segenap hati ikut berolahraga. “Lama-lama saya ketagihan. Jadi, syarat usia panjang adalah ikut perintah istri,” seloroh pria yang menikah tahun 1951 tersebut.
Ingatan manusia perlu terus dilatih. Mochtar selalu membaca dan menulis. Di ruang kerjanya yang asri di MRIN terdapat ribuan judul buku dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Jenis buku tak terbatas pada masalah ekonomi-keuangan, melainkan juga ilmu sosial dan teknologi informasi (TI). Sarjana Filsafat alumnus Nanjing University (dahulu National Central University) di RRT ini rajin mempelajari TI, sebuah bisnis yang digemari generasi milenia. Dengan usia yang sudah 88, justru tekun mempelajari bisnis masa depan.
Mochtar paham benar bahwa revolusi digital mengubah semuanya. Hampir semua distruption innovation disebabkan oleh revolusi digital. Perusahaan yang tidak mengikuti dan menerapkan produk muthakir digital akan dilibas gelombang perubahan. Di bidang perdagangan, e-commerce perlahan menggeser toko barang. Di bidang keuangan, e-money sudah menggeser penggunaan uang tunai. Bank yang tidak menggunakan financial technology (fintech) akan ditinggalkan nasabah.
Dalam perbincangan dengan para eksekutif Grup Lippo, Mochtar menjelaskan, bisnis grup usaha yang didirikan itu berpijak pada dua fondasi utama, yakni tanah dan digital. Tanah adalah fondasi utama bisnis properti dan perhotelan. Sedang digital aalah fondasi semua lini bisns, terutama teknologi, telekomunikasi, media, perdagangan, dan keuangan. Dengan menguasai dua fondasi ini, usaha Grup Lippo akan terus maju memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara.
Pada 2015, Mochtar meluncurkan otobiografinya berjudul “Manusia Ide”. Dalam buku ini di sajikan lengkap perjalanan hidupnya, mulai dari masa kecil, karya, kehidupan sosial, pergulatan hidup, dan keluarganya. Otobiografinya juga diluncurkan di Singapura, Oktober 2017, dengan judul “Mochtar Riady, My Life Story”. Buku ini sarat dengan filosofi hidup dan layak dibaca oleh generasi muda.
Yang lembut…
Sebagai sarjana filsafat, Mochtar sangat filosofis dan sebagai pembelajar Filsafat Timur, ia mengagumi Lao Tse alias Laozi atau Lao-tzu. Ajaran moral Lao Tse dinilai jauh lebih bagus dibanding Confucius atau Kongfuzi, muridnya. Ajaran Confucius menempatkan pria lebih tinggi dari wanita dan pegawai kerajaan atau negara adalah warga negara kelas satu. Dalam ajaran Confucius, pengusaha adalah pekerjaan yang paling rendah derajatnya dibanding pekerjaan lain.
Lao Tse dan Confucius sama-sama filosof besar. Pandangan mereka banyak mempengaruhi pemikiran umat manusia dari masa ke masa. “Tapi, saya lebih mengagumi Lao Tse karena ajaran moralnya bagus dan ia mengajarkan tentang pentingnya hidup yang selaras dengan hukum alam,” paparnya. Buku Lao Tse hanya 6.000 kata. Tapi, banyak dibaca dan diterjemahkan ke berbagai bahasa karena ulasannya sederhana tapi lengkap, mencakup semua perikehidupan manusia.
Suatu hari, kata Mochtar, Confucius berjumpa dengan Lao Tse setelah keduanya lama berpisah. Confucius langsung turun dari keretanya dan bersujud. Lao Tse yang melihat muridnya pun ikut turun dari kereta. “Guru. Saya khawatir kita tidak bisa berjumpa lagi. Oleh karena itu, saya mohon sebuah nasihat terakhir,” kata Confucius.
Lao Tse membuka mulutnya lebar-lebar dan berkata, “Apa yang engkau lihat?” “Oh, gigi guru sudah tidak ada, sedang lidah masih utuh,” jawab Confucius. “Kenapa bisa demikian?” tanya sang guru. “Gigi hancur karena keras, lidah tetap utuh karena lembut,” jelas Confucius. “Jawabanmu tepat sekali, sampai jumpa,” kata Lao Tse sambil kembali ke keretanya.
Sesuatu yang keras bisa tergerus, patah, dan hancur. Sedang yang lembut justru kuat dan bertahan. Baja yang keras akan hancur. Tapi, air yang lembut hanya berubah bentuk. Setelah menguap ke udara akan kembali menjadi air. Itulah hukum alam. Manusia yang keras hati takkan lama hidupnya. Sedang orang yang lembut hati hidupnya lebih langgeng dan sukses.
Saat bertemu benda keras, air mencari jalan untuk terus mengalir. Titik-titik air yang jatuh terus-menerus bisa melubangi batu cadas. Aliran air yang deras menghancurkan aneka benda besar dan gelombang samudera bisa menghempaskan kapal.
Orang yang kembut hatinya lebih rileks, damai hatinya, memiliki banyak teman, lebih sukses, dan berusia lebih panjang. Sebaliknya, mereka yang keras hati, gampang tumbang oleh masalah sepele. Lembut tidak sama dengan lemah. Keras tak sama dengan kuat. Sejarah membuktikan: yang lembut justru yang kuat.
Selamat ulang tahun, Pak Mochtar Riady. (S-BS/jr)