Jakarta, 2/7/17 (SOLUSSInews) – Sebagai Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo, wajar saja jika Roy Mandey berhak mengajukan pendapatnya tentang permasalahan di seputar bisnis ritel, khususnya menyangkut eksistensi pasar modern.
Termasuk tentunya tentang penutupan gerai-gerai Seven Eleven (Sevel) yang menyita atensi bukan saja dunia ritel domestik, tetapi lintas negara.
Roy mengatakan, ada dua faktor utama yang menyebabkan gerai Seven Eleven (Sevel) tutup di Indonesia yaitu faktor internal dan eksternal.
Jika dilihat dari faktor internalnya, Sevel sudah lemah di sisi sumber daya keuangan dan manusia.
Belanja ‘online’
Sejak berdiri di Indonesia pada tahun 2009, Sevel memang kuat dari sisi SDM, namun dalam tiga tahun terakhir ini SDM semakin berkurang karena pindah ke tempat lain dan mencari pekerjaan baru.
Jika SDM sudah lemah maka akan memengaruhi sumber daya keuangan dan tentunya manajemen perusahaan.
Faktor lain yang menyebabkan Sevel tutup ialah faktor eksternal, yaitu pasar ritel yang semakin melemah karena banyak konsumen menahan daya belinya. Konsumen menahan daya belinya karena situasi ekonomi dan politik yang tidak stabil.
“Banyak konsumen yang mulai menahan daya belinya sehingga memengaruhi bisnis ritel,” ujarnya seperti diberitakan Investor Daily, di Jakarta, Minggu (2/7/17).
Selain itu, menurut eksekutif di Lippo Group yang antara lain mengelola dua peritel papan atas Indonesia (Matahari Department Store dan Hypermart, Red), ini, ialah, banyak konsumen yang sudah mulai berbelanja online melalui e-commerce.
Regulasi Pemerintah
Faktor eksternal lain, menurutnya, ialah regulasi pemerintah yang masih kaku dan tidak mengikuti perkembangan bisnis dan zaman.
“Sevel merupakan minimarket yang memakai konsep bisnis berbeda karena konsumennya bisa berbelanja, bersosialisasi, duduk duduk santai sambil menikmati fasilitas ‘wifi’,” ungkapnya.
Konsep bisnis ini baru pertama diterapkan di Indonesia dan boleh dikatakan sebagai pionir. Namun konsep bisnis ini tidak didukung regulasi pemerintah.
Dalam regulasi diatur bahwa, minimarket hanya sebagai tempat belanja bukan tempat nongkrong. Roy meminta pemerintah harus lebih mengikuti perkembangan zaman ketika membuat regulasi dan harus up to date. Regulasi harus dibuat berdasarkan perkembangan bisnis di zaman modern.
” Saya meminta pemerintah bisa merevisi karena bisnis ritel semakin berkembang,” ujar Roy Mandey yang juga Wakil Ketua Umum DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP).
Ia mengatakan penutupan gerai sevel bisa dijadikan pelajaran bahwa regulasi tidak boleh ketinggalan tetapi harus modern.
Ubah tatakelola
Senada dengan Roy, Ketua Kebijakan Publik DPN Apindo, Danang Girindrawardana mengatakan, penutupan gerai Sevel di Indonesia menjadi bukti nyata bahwa bisnis ritel modern terhambat regulasi.
Ia mengatakan regulasi pemerintah masih kuno dan tidak mengikuti perkembangan bisnis modern.
Sevel mempunyai konsep bisnis minimarket modern dan konsumen bisa nongkrong sepuasnya sambil bersosialisasi.
Di luar negeri, konsep bisnis modern seperti Sevel sudah banyak dan didukung pemerintahnya.
Ia menjelaskan Pemerintah harus segera mengubah tata kelola regulasi agar bisa diterima dan tidak membuat bisnis mati. “Pengusaha hanya minta Pemerintah agar segera melakukan relaksasi peraturan,” demikian Danang Girindrawardana. (S-ID/BS/jr)