Jakarta, 25/8/17 (SOLUSSInews): Situasi perekonomian yang masih belum sesuai ekspektasi diakui ikut mempengaruhi bisnis ritel di Indonesia. Dan dengan jujur, hal ini pun diakui oleh pihak Hypermart, jaringan ‘pasar modern’ terluas di Indonesia.
Hal tersebut sesungguhnya merupakan proses yang wajar dalam bisnis, sebagaimana diungkapkan pengamat pasar modern nasional, Dr Rudy Sumampouw yang juga salah satu eksekutif di DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) kepada Tim ‘SOLUSSInews’ dan ‘BENDERRAnews’, di Jakarta, baru-baru ini.
Dan pihaknya juga sudah mengetahui situasi obyektif di lapangan, dimana pihak perital siap menyelesaikan keterlambatan pembayaran kepada pemasok.
Kendati begitu, seperti terlanjur diangkat oleh beberapa media ‘online’ dan media sosial (Medsos), seolah Hypermart berada pada posisi tidak
Yang sebenarnya terjadi, para pemasok ritel mememang saat ini mulai sedikit cemas, pasalnya saat ini mereka dibayang-bayangi oleh kecenderungan keterlambatan pembayaran invoice produk dari peritel.
Tak hanya itu, adanya skema dan term conditions yang berbeda-beda di setiap peritel juga membuat mereka pusing.
14 September
Pada awal pekan ini, asosiasi-asosiasi yang mewakili industri mengadakan mediasi difasilitasi Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Dan berdasarkan surat mediasi antara Hypermart dengan pemasok, disebutkan bahwa di Kamis (24/8/17), merupakan batas akhir para pemasok menyampaikan data-data permasalahan.
Hal ini akan dipelajari sebagai bahan masukan dan data terkait dengan rekomendasi resmi Kemendag mengenai tunggakan utang jatuh tempo Hypermart kepada pemasok.
Sebagai informasi, Hypermart harus melakukan pembayaran seluruh utang jatuh tempo pada 14 September 2017 mendatang. Pembayaran tersebut dilakukan tanpa cicilan dan tanpa tambahan perpanjangan waktu.
Selain itu, Hypermart juga diharuskan tunduk dan patuh terhadap Permendag 70 tahun 2013 mengenai pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern.
Pasti tuntas
Dalam surat Hypermart kepada pemasok pada 11 Agustus 2017 lalu, Hypermart meminta pengertian pemasok ihwal situasi ekonomi yang sulit serta penjualan yang di luar ekspektasi membuat perusahaan mengharapkan ada perpanjangan waktu pembayaran.
Danny Konjongian, Sekretaris Perusahaan, PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) yang membawahi Hypermart menilai, kondisi seperti sekarang ini merupakan proses yang wajar dalam bisnis.
Pihaknya juga mengatakan akan menyelesaikan keterlambatan pembayaran kepada pemasok paling lambat pada akhir minggu depan.
Yang jelas, dirinya mengatakan perlu adanya komunikasi business to business (B to B) antara pihaknya dengan pemasok lebih intens.
“Pending payment ini akan terselesaikan dengan baik paling cepat minggu depan jadi isunya sudah selesai. Kami akan proses lebih cepat agar pending payment bisa terselesaikan dengan baik,” ujarnya kepada KONTAN, dan dilansir ‘Kompas.com’ Kamis (24/8/17).
Belum tergantikan
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menilai, di tengah gempuran pusat perbelanjaan ‘online’ atau yang dikenal dengan e-commerce, tetap industri ritel tetap tak tergantikan.
Mendag mengungkapkan, hal itu disebabkan industri ritel masih menjadi industri prioritas dalam perekonomian nasional.
“Industri ritel masih belum tergantikan, saya juga termasuk orang yang kalau belanja harus datang ke toko dan melihat barang langsung,” jelas Mendag di Kementerian Pedagangan (Kemendag) Jakarta, Senin (17/7/17).
Mendag berkeyakinan industri ritel dalam negeri masih akan mengalami pertumbuhan hingga double digit dan akan berkontribusi lebih dari 40 persen terhadap PDB, meski dihantui dengan persoalan daya beli yang menurun.
Mal melambat
Namun demikian, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengungkapkan, pertumbuhan pusat perbelanjaan pada tahun diprediksi sedikit mengalami perlambatan.
Ketua Umum APPBI, Stefanus Ridwan menjelaskan, pertumbuhan pusat perbelanjaan pada tahun ini masih terfokus pada Pulau Jawa yang disebabkan masih memiliki pangsa pasar yang besar.
Disebutnya, saat ini investor tengah dalam posisi menunggu dan melihat perkembangan ekonomi dalam negeri untuk membangun pusat perbelanjaan.
Hal itu, disebabkan jangka waktu balik modal investasi bisnis tersebut mencapai 12 tahun.
“Kalau daerah ujung-ujungnya return on investment jauh banget. (return on investment) 9 tahun itu sudah bagus luar biasa, rata-rata 10-12 tahun,” papar Stefanus Ridwan. (S-KN/KC/jr)