Yogyakarta, 5/10/17 (SOLUSSInews) – Pendiri Lippo Group, Mochtar Riady menyakini posisi Indonesia bisa sejajar dengan negara-negara adikuasa ekonomi digital dunia. Syaratnya, pemerintah, termasuk pelaku usaha dan industri punya misi dan komitmen kuat mengembangkan teknologi.
“Sepanjang kalangan industri serta pemerintah sama-sama punya misi bagaimana teknologi serta riset tidak hanya berhenti di laboratorium, Indonesia bisa sejajar dengan negara-negara penguasa teknologi,” ujar Mochtar dalam seminar ilmiah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), di Yogyakarta, Rabu (4/10/17).
Seminar digelar bersamaan dengan pembukaan pameran teknologi informasi (TI). Teknologi yang ditampilkan hasil karya perguruan tinggi, institusi.
Selain Mochtar Riady, seminar menampilkan pembicara yakni Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Rektor UNY Sutrisna Wibawa, dan ahli teknologi siber Pratama D Persadha. Tema yang diangkat, yakni ‘Tunjukkan Jogjamu untuk Indonesia’.
Mochtar yang dilabeli ‘Si Manusia Ide’ ini bercerita tentang seorang ilmuwan asal Amerika Serikat John Naisbitt. John pada awal abad 20, telah meramalkan bahwa dunia akan memasuki tahapan revolusi industri elektronik mikro dan era masyarakat informasi.
Dan, kenyataan sekarang terbukti. Kehadiran raksasa-raksasa teknologi informasi (TI), seperti Amazon.com di Amerika Serikat dan Alibaba.com di Tiongkok, mampu menguasai pasar retail dunia.
Saat ini di Tiongkok, lanjut Mochtar, pekerja di pelabuhan sudah sangat jarang ditemui. Sebab, konsep kerja di sana menggunakan teknologi.
Demikian juga di bidang kesehatan. Untuk memindai penyakit atau gejalanya tak perlu lagi memakai jasa dokter.
“Saya bukan ahli IT, tetapi bagaimana memasuki era ekonomi digital yang intinya adalah sharing ekonomi itu kita kelola dengan baik. Kita sudah masuk artificial society. Bagaimana Indonesia masuk ke arah itu,” ujar Mochtar.
Di sisi lain, dia juga mengingatkan pentingnya dukungan dari sektor perbankan dalam mendorong kreatifitas. Tanpa pembiayaan untuk pengembangan, riset teknologi hanya akan hadir sebatas pengetahuan saja, tanpa ikut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
“Artinya, perbankan harus mulai masuk ke wilayah itu, jangan sampai potensi itu tidak tergarap, sekaligus pemerintah mau memberikan regulasi yang jelas,” kata Mochtar, ayah dari CEO Lippo Grup James Riady.
Penopang kebutuhan
Sementara itu, Sri Sultan menegaskan, kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia tak bisa ditolak. Namun untuk menyeimbangkan di zaman sekarang ini, maka teknologi harus dikelola dengan baik oleh sumber daya manusia yang handal.
Intinya, kata dia, Indonesia juga harus menyiapkan generasi-generasi mudanya dalam menghadapi kemajuan teknologi yang sangat dinamis.
“Bagi saya, bisa menguasai teknologi itu bukan untuk mencelakakan diri sendiri, tetapi bagaimana teknologi mampu menopang kebutuhan. Kalau sekarang, punya motor bagus, tetapi menggunakannya salah dan mencelakai diri, apakah teknologi yang menjadi salah,” ujar Sri Sultan seperti diberitakan ‘Suara Pembaruan’ yang dicuplik ‘BeritaSatu.com’.
Demikian juga dalam dunia pendidikan. Sri Sultan mengingatkan para guru terus meningkatkan kualitas diri dan pendidikan. Guru tidak lagi sebatas mentransfer ilmu, melainkan bisa menciptakan sistem pendidikan yang memberi nilai lebih. “Guru saat ini dituntut untuk bisa tut wuri handayani (memberi motivasi),” tegas Sri Sultan.
Dia mengklaim, perkembangan TI di Yogyakarta berbeda karakteristiknya dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Di Yogya, ilmu tentang teknologi informasi dipergunakan dan dimanfaatkan bersama demi kemajuan masyarakat.
“Berbeda seperti di Jakarta, Bandung, maupun Bali yang kemajuan teknologi informasi lebih banyak bertujuan material,” ujarnya
Maka dari itu, kata Sri Sultan, untuk mendukung perkembangan TI, Pemprov Yogyakarta memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para peneliti untuk menghasilkan teknologi terbaik dan nantinya akan dikembangkan bersama pemerintah daerah.
Rektor UNY Sutrisna Wibawa mengatakan, saat ini kehidupan kampus tidak lagi berkutat dengan dinamika politik praktis, melainkan lebih memandang ke depan dengan melakukan kajian dan penelitian. Dosen bersama mahasiswa sinergi melakukan penelitian dan peningkatan sains untuk masyarakat.
Keamanan siber
Sementara itu, pakar teknologi siber Pratama mengatakan, keamanan data dan informasi digital harus menjadi prioritas penting mengingat jumlah kasus keamanan siber di Indonesia meningkat signifikan hingga 389 persen pertahun. “Pengguna internet jadi sasaran kemarahan siber. Masalahnya sekarang semua orang bisa jadi sasaran. Sekarang semua tidak aman,” ujarnya.
Disebutnya, kerugian akibat cyber crime di dunia mencapai US$400 miliar. Sony Pictures pernah kehilangan data sebesar 400 terrabyte, dan Grup Bakrie dikabarkan merugi Rp30 miliar karena salah satu emailnya dicuri.
“Kasus Sultan Haikal meraup Rp4 miliar dari tiket pesawat membuat saya prihatin. Mengapa polisi justru akan merekrutnya? Bagaimana tidak, itu justru akan memunculkan pandangan bahwa tindak kriminal itu justru dijadikan batu loncatan untuk jadi pegawai,” ujar Pratama.
Dia pun sangat menyayangkan tertundanya pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara pada September lalu. Kondisi ini menciptakan situasi rawan kejahatan siber di tahun politik 2018 dan 2019.
“Seharusnya Badan Siber dan Sandi Negara sudah terbentuk 23 September lalu bersama dengan alokasi anggaran, strategi, dan rencana program, sehingga bisa bekerja maksimal tahun depan. Jika tertunda, maka tidak akan bisa mengakses anggaran negara yang notabene harus mendapat persetujuan DPR,” ujar dia.
Kehadiran Badan Siber dan Sandi Negara sangat dibutuhkan guna menanggulangi serangan pencuri data maupun informasi penting negara. Dengan informasi penting itu, pihak-pihak lain bisa menggunakannya untuk mengontrol Indonesia.
Terlebih saat ini, Pratama mengatakan, tingkat keamanan siber di Indonesia masih berantakan. Dikhawatirkan pada tahun politik 2018 dan 2019, serangan melalui dunia maya akan semakin intensif untuk memecah belah Indonesia.
Dikatakannya lagi, hampir 58 persen pengguna internet di Indonesia tidak merasa mendapatkan serangan sehingga mereka tidak menganggap ini sebagai masalah serius.
Kehadiran Badan Siber dan Sandi Negara, seperti di Malaysia, Singapura, Australia, dan Thailand, selain sebagai penanggulangan serangan siber juga bisa membuat regulasi terkait pengadaan infrastuktur jaringan internet. (S-Feber S/jr — foto ilustrasi istimewa)