Jakarta, 16/11/17 (SOLUSSInews) – Sesungguhnya, disrupsi teknologi tidak berdampak negatif terhadap industri bioskop di Tanah Air.
Sebab, meski film kini bisa disaksikan lewat streaming, minat masyarakat untuk menonton film di bioskop terus meningkat. Itu terjadi karena masyarakat kelas menengah-atas yang jumlahnya terus bertambah telah menjadikan hiburan sebagai kebutuhan dan gaya hidup.
Selain itu, bioskop menawarkan pengalaman (experience) dan sensasi berbeda yang tidak bisa ditemukan di tempat atau platform lain.
“Jadi, tidak benar kalau bioskop disebut sunset business. Industri bioskop justru terus bertumbuh dan sangat menguntungkan. Buktinya, jumlah penonton bioskop Cinemaxx terus meningkat,” kata Executive Director PT Cinemaxx Global Pasifik, Brian Riady saat berkunjung ke Beritasatu Media Holdings di Beritasatu Plaza, Jakarta, baru-baru ini.
Disebut Brian, Cinemaxx mengalami pertumbuhan bisnis yang amat pesat. Hanya dalam tempo kurang dari dua tahun–sejak Agustus 2014 hingga Mei 2016–jaringan bioskop yang beroperasi di bawah bendera Lippo Group itu sudah membuka screen (layar) ke-100.
“Ini cukup membanggakan bagi kami karena bisa membuka 100 screen dalam waktu yang singkat. Yang lain, untuk mencapai 100 screen butuh waktu setidaknya 10 tahun. Bisnis kami di sinema sangat sehat,” ujar Brian.
Punya 26 bioskop
Cinemaxx, kata Brian, kini memiliki 26 bioskop dengan 138 screen di 20 kota di Indonesia. Sampai akhir 2017, Cinemaxx ditargetkan memiliki 188 screen. Pada akhir 2018, Cinemaxx diproyeksikan memiliki 340 screen. Dan dalam lima tahun ke depan ditargetkan memiliki 800-1.000 screen.
Saat ini, di Indonesia terdapat sekitar 1.300 screen bioskop, terdiri atas 138 screen milik Cinemaxx, 223 screen milik Cheil Jedang Golden Village (CGV), dan sekitar 1.000 screen milik Cinema XXI.
“Berarti XXI masih sangat besar, kami masih sangat kecil, baru sekitar 10%-nya. Kami juga masih mempelajari model yang bagus, masih membangun tim. Tetapi kami baru berjalan tiga tahun. Kami memiliki potensi untuk berkembang cepat,” tuturnya seperti dilansir ‘Investor Daily’.
Pengalaman berbeda
Brian Riady mengakui, ketika platform teknologi digital merambah industri film, konten menjadi lebih mudah diakses, misalnya melalui streaming. Bahkan, pengguna bisa mengaksesnya lewat telepon pintar (smartphone). Namun, tak berarti disrupsi teknologi telah menggerus bioskop.
“Perubahan seperti ini bukan pertama kali terjadi. Ketika Anda memiliki DVD, VCD, atau home window dua dekade silam, banyak yang mengatakan orang-orang akan berhenti pergi ke bioskop karena film bisa ditonton dari rumah. Lalu sekarang konten lebih mudah diakses di smartphone dan TV. Kemudian ada platform yang menawarkan streaming, seperti Netflix. Kenyataannya tidak seperti itu,” tegasnya.
Brian Riady menjelaskan, masyarakat datang ke bioskop karena sejumlah alasan, di antaranya ingin mendapatkan pengalaman atau sensasi yang tidak bisa ditemukan di tempat atau platform lain.
“Orang datang ke bioskop karena ingin merasakan pengalaman dengan orang terdekat. Jika pergi ke bioskop dengan keluarga, istri, anak-anak, pacar, atau orang tercinta, Anda akan menemukan pengalaman berbeda dibanding saat menonton home entertainment window, Youtube, atau streaming. Anda akan merasakan sejumlah pengalaman yang tidak bisa ditemukan di tempat lain,” papar dia.
Pengalaman atau sensasi berbeda yang diperoleh saat menonton film di bioskop, kata Brian, di antaranya pengalaman bersosialisasi. Kedua, pengalaman mendapatkan gambar dan suara terbaik. Ketiga, pengalaman dari konten film itu sendiri.
“Pasar yang makin kompetitif juga akan semakin meningkatkan inovasi. Kami fokus ke pengalaman konsumen, misalnya menyediakan kursi yang bisa bergerak. Apakah itu bisa didapatkan di home window? Tentu tidak. Cinemaxx Junior, misalnya, menyediakan tempat bermain untuk anak-anak. Apakah itu bisa Anda dapatkan di smartphone? Tentu tidak,” tandasnya.
Brian menambahkan, perubahan teknologi yang memungkinkan semua orang bisa mengakses konten, tidak dalam persaingan dengan bioskop. “Ini bukan soal rumah atau bioskop, tetapi kedua-duanya. Bioskop selalu menjadi jendela pertama, setelah itu mereka membawanya ke rumah. Jika film itu sukses di bioskop maka banyak orang akan membeli film untuk di rumah,” ujar dia.
Itu sebabnya, menurut Brian, kalangan produser film tetap menjadikan bioskop sebagai acuan mereka dalam memproduksi dan memasarkan sebuah film. “Menurut saya, bioskop masih menjadi acuan finansial mereka ketika membuat film,” ucap Brian.
Brian Riady mengungkapkan, prospek bisnis bioskop sangat menjanjikan. Bertambahnya jumlah kelas menengah seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi nasional bakal meningkatkan kebutuhan masyarakat terhadap hiburan atau rekreasi (leisure). Jumlah kelas menengah di Indonesia diperkirakan mencapai 60 juta orang. Ke depan, angka itu dipastikan terus bertambah.
Saat ini, fenomena peralihan (shifting) kebiasaan berbelanja dari belanja konsumsi ke rekreasi sudah terjadi di masyarakat Indonesia. Hiburan atau rekreasi bahkan sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup (life style) sebagian masyarakat. “Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, kebutuhan terhadap hiburan, termasuk bioskop, juga meningkat. Saya percaya ekonomi Indonesia akan terus bertumbuh,” ujar Brian.
Apalagi, kata Brian, Indonesia masih defisit layar bioskop (screen). “Jika dilihat kesempatan pasarnya sekarang, dari 250 juta penduduk, Indonesia baru memiliki sekitar 1.300 screen. Setiap satu screen untuk 200.000 orang. Di negara lain umumnya satu screen untuk 30.000 orang. Dengan demikian, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk tumbuh 5-6 kali. Jadi, masih banyak kesempatan bagi industri bioskop di Indonesia untuk bertumbuh,” papar dia.
Brian menambahkan, bioskop di Indonesia pun terkonsentrasi di kota-kota besar. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) memiliki 40-45% dari seluruh bioskop di Tanah Air. Sedangkan 70-75% dari seluruh bioskop di Indonesia terdapat di Pulau Jawa.
“Berarti di satu sisi, untuk seluruh negeri jumlah bioskopnya belum memadai. Di sisi lain, sebagian besar bioskop hanya ada di kota-kota besar. Kota-kota yang lebih kecil belum memiliki bioskop. Peluangnya masih sangat luas, terutama di kota-kota lapis dua dan tiga,” tutur dia.
Karena itu, menurut Brian, Cinemaxx tidak hanya menggarap pasar Jakarta dan Bodetabek, tapi juga di kota-kota lapis dua dan lapis tiga di sejumlah provinsi, termasuk di luar Jawa. Dalam melakukan ekspansi, bioskop Cinemaxx yang pertama kali dibuka di Plaza Semanggi pada 17 Agustus 2014, akan bersinergi dengan mal-mal milik Lippo Group yang merupakan operator mal terbesar dengan 67 mal di seluruh Indonesia.
“Di tengah lesunya industri ritel di Indonesia, bioskop justru berkembang,” kata Brian.
Dia juga mengemukakan, belakangan ini terjadi pergeseran tren pada mal, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Jika dulu mal hanya merupakan tempat berbelanja maka kini mal juga menjadi pusat hiburan dan pengalaman.
“Ritel fisik pun telah bergeser menjadi sebuah experience. Di berbagai tempat di dunia, seperti Tiongkok atau AS, cara orang berbelanja sedang mengalami perubahan. Fungsi ritel juga berubah. Banyak ritel tradisional, seperti makanan dan minuman, sepatu, dan elektronik, mulai berpindah ke online atau e-commerce,” ujar dia.
Tak mengherankan jika mal-mal kini lebih banyak menawarkan hiburan dan kuliner (makanan). “Lebih banyak orang-orang pergi ke mal bersama teman-teman atau keluarga untuk bersosialisasi dan hiburan ketimbang berbelanja seperti dulu,” ucap dia.
Di situlah, kata Brian, Cinemaxx hadir untuk memberikan nilai tambah pada mal-mal Lippo Group. “Jika memikirkan skala bisnis, yang terpenting adalah tempatnya. Untuk bioskop, jika tidak memiliki lokasi, Anda tidak bisa mengembangkan bisnis. Jika tidak bisa mengembangkan bisnis maka tidak bisa menciptakan nilai untuk grup. Jadi, untuk lokasi, kami sangat percaya diri. Jalurnya sudah benar dan terjamin,” papar dia.
Brian yakin kebutuhan masyarakat terhadap hiburan dan pengalaman akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan teknologi, termasuk telepon pintar (smartphone). ”Dengan banyaknya orang memiliki smartphone, mereka ingin lebih bersosialisasi lagi. Ada waktunya mereka merasa nyaman dengan smartphone-nya, lalu mereka ingin merasakan pengalaman sosial secara langsung, keluar untuk melakukan sesuatu, seperti makan dan menonton film,” katanya lagi.
Sangat kompetitif
Brian Riady memperkirakan industri bioskop di Tanah Air ke depan sangat kompetitif dan bertumbuh pesat. Dulu, di Indonesia hanya ada XXI. Baru pada 2006 ada Blitz Megaplex (CGV). Lalu dalam 1-2 tahun terakhir banyak pemain baru masuk, misalnya Flix di PIK (Agung Sedayu Group), kemudian Kota Cinema Mall yang didirikan para produser film. Ada pula Lotte dari Korea Selatan yang mulai berinvestasi di industri bioskop.
Banyaknya pemain industri bioskop yang berkompetisi bakal menguntungkan konsumen. Soalnya, ketika konsumen hanya memiliki satu atau dua pilihan, tidak banyak inovasi yang dilakukan para pemain industri bioskop. “Bioskop hanya begitu-begitu saja, konsumen tidak punya banyak pilihan,” tegas dia.
Dengan maraknya kompetisi dan pertumbuhan serta banyaknya investasi yang disuntikkan pada bisnis bioskop, menurut Brian Riady, semua industri berupaya untuk melakukan inovasi guna menciptakan pengalaman yang menyenangkan bagi konsumennya. Misalnya Cinemaxx membuat Cinemaxx Junior, bioskop untuk anak-anak. Atau Cinemaxx menyediakan teknologi D-Box (saat menonton film, tempat duduknya bisa bergerak sesuai suara dan gambarnya).
“Ini bukan hanya soal film, tapi juga makanan, arena bermain untuk anak-anak, games, dan D-Box,” ujarnya.
Dia menambahkan, pemain bioskop yang lain, seperti CGV, juga melakukan banyak inovasi. Begitu pula XXI. “Intinya, industri ini punya banyak inovasi agar konsumen berbondong-bondong datang ke bioskop,” tandasnya.
Brian mengemukakan, kompetisi pada industri bioskop telah mendatangkan nilai tambah dan manfaat bagi industri film nasional. Terbukti pamor film-film lokal meningkat. Di Indonesia, pada 2014 top 15 film lokal berhasil menjual 9,43 juta tiket dan pada 2015 terjual 10,4 juta tiket. “Tahun lalu bahkan terjual 30 juta tiket. Berarti ada lonjakan tiga kali lipat pada penjualan tiket film-film lokal,” ujar dia.
Kondisi ini, kata Brian, turut menciptakan iklim yang sehat pada industri film nasional. “Biasanya bioskop di Indonesia sangat bergantung pada konten-konten film Hollywood, seperti Disney, Fox, Paramount, Sony, Universal, atau Warner Bros. Padahal, terkadang kontennya tidak begitu relevan untuk pasar Indonesia, terutama di kota-kota kecil. Pilihan bahasanya pun seringkali tidak sesuai, atau konsumennya tidak begitu menyukai film-film Hollywood,” papar dia.
Disebut Brian, berkembangnya film-film lokal sangat sehat bagi keseluruhan industri film nasional. Di negara-negara lain pun demikian. Ketika industri filmnya berkembang dan bioskopnya berkembang, film lokalnya pun ikut berkembang.
“Bagaimana pun, penonton bioskop kan dari dalam negeri. Mereka lebih banyak tertarik pada film lokal, sehingga pembuat film dalam negeri memiliki pasar dan audiens yang lebih banyak. Ini tentu sangat sehat,” kata Brian.
Brian mengungkapkan, secara keseluruhan, iklim investasi pada industri bioksop di Tanah Air sudah sangat kondusif. Buktinya, banyak yang mulai berinvestasi di industri bioskop. Kondisi ini tak lepas dari langkah pemerintah mengeluarkan industri film dari Daftar Negatif Investasi (DNI) bagi investasi asing. Alhasil, kini, investor asing bisa memiliki hingga 100% saham perusahaan film.
“Sekarang banyak perusahaan yang tertarik berinvestasi di industri film karena mereka melihat potensinya,” ujar Brian.
Brian menegaskan, hingga 5-10 tahun mendatang bioskop bakal menjadi bisnis yang penting. Itu karena bioskop masih merupakan cara dan wahana yang relevan bagi masyarakat untuk menikmati film. “Bisa saya katakan, sekarang merupakan era baru perbioskopan di Indonesia,” tandas dia.
Di Cinemaxx, menurut Brian, film asing masih lebih banyak peminatnya dibanding film lokal. Namun, peminat film lokal terus meningkat. Pada 2014, porsi film lokal hanya 7,4% dari total tiket terjual, tapi pada 2015 naik menjadi 10,3%, dan pada 2016 melonjak menjadi 33,5%. Saat ini, porsi film lokal sekitar 34,5%.
“Jadi, lebih dari 30% tiket yang kami jual sekarang adalah berasal dari film-film lokal. Ketika kami pertama mulai, tidak lebih dari 10%. Film asing masih lebih banyak, tetapi dibandingkan sebelumnya, volume film lokal terus bertumbuh,” tutur dia.
Brian mengisahkan, ketika Cinemaxx pertama kali dibuka di suatu kota, animo masyarakat sangat tinggi. Bahkan, penonton seringkali kehabisan tiket menonton, terutama saat akhir pekan atau Jumat malam. “Itu bioskop pertama bagi mereka, dan itu pertama kali mereka bisa merasakan hiburan, gambarnya sangat besar, suaranya sangat kuat. Orang-orang sangat suka hal itu,” kata dia.
Mendidik masyarakat
Brian Riady menambahkan, bisnis bioskop yang digeluti Cinemaxx selaras dengan filosofi bisnis Lippo yang fokus ke konsumen. “Setiap bisnis Lippo Group fokus ke konsumen. Ini berkaitan dengan banyak orang. Jika kesempatannya kecil maka kami tidak terarik. Tetapi jika skala bisnisnya memungkinkan, kami akan tertarik,” tandas dia.
Dia menjelaskan, Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dan konsisten. Jumlah kelas menengahnya juga terus bertambah. “Yang pertama, kebutuhan dasarnya kan makanan dan pakaian. Tetapi ketika orang bisa memenuhi kebutuhannya itu, mereka memiliki kebutuhan yang lebih tinggi, seperti hiburan,” ujarnya.
Cinemaxx telah merambah kota-kota di luar Jabodetabek. Di Sumatera, Cinemaxx telah hadir di Palembang, Jambi, dan Medan. Di Jawa, Cinemaxx sudah ada di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Ponorogo, dan Batu. Sedangkan di Sulawesi, Cinemaxx sudah buka di Manado, Buton, dan Kendari. Adapun di Kalimantan, Cinemaxx hadir di Sampit. “Lalu ada di Bali, Lombok, dan Kupang. Tentu saja kami sudah lebih dulu ada di Jabodetabek,” ujar dia.
Hadir di kota-kota lapis dua dan tiga, menurut Brian Riady, merupakan salah satu strategi Cinemaxx dalam memenangi persaingan. “Kami sangat fokus bukan hanya di kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil atau yang tier 2 dan tier 3. Kami berada di kota yang tidak dilihat atau tidak diminati kompetitor,” katanya.
Strategi lain yang diterapkan Cinemaxx, kata Brian, ialah memiliki lebih dari satu model sinema yang disesuaikan dengan karakter masyarakat sekitarnya. “Jika Anda pergi ke bioskop di Buton, akan berbeda dengan di Jakarta. Kami mencoba membuat cinema yang sesuai dengan profil kota. Strategi pengembangan di setiap kota bisa sangat berbeda,” ucap dia.
Strategi Cinemaxx berkebalikan dengan yang diterapkan para kompetitor. “Jika mengunjungi gerai kompetitor di kota kecil, Anda akan menemukan konsep yang sama dengan gerai pada kota-kota besar lainnya. Apakah konsumen di Baubau sama dengan di Jakarta? Apakah mereka memiliki kemampuan yang sama? Tentu tidak. Kompetitor kami hanya memiliki satu konsep yang tidak memungkinkan untuk konsep besar atau kecil, mahal atau murah,” papar dia.
Di sisi lain, Cinemaxx juga sangat fokus menjalin ikatan dengan konsumen. Dalam menggarap pasar, Cinemaxx tidak melihat konsumen sebagai satu grup yang besar, tetapi dalam grup yang lebih spesifik. “Misalnya di Cinemaxx Junior, di sana sangat spesifik bagi anak-anak dan keluarga. Kami juga memiliki Ultra XD untuk pelanggan yang mengedepankan teknologi gambar dan suara, sehingga kami fokus pada teknologi di sana,” ungkapnya.
Brian menambahkan, demi memuaskan pelanggan dan memberikan pengalaman berbeda, teknologi yang digunakan Cinemaxx merupakan yang terbaik di Indonesia. “Untuk pelanggan yang ingin treatment VIP, kami memiliki Cinemaxx Gold yang memberikan pengalaman kelas satu,” ujarnya.
Meski secara keseluruhan iklim investasi pada industri bioskop di Tanah Air sudah cukup kondusif, Brian Riady mengakui praktik pembajakan film masih mengganggu. Namun, gangguan itu tidak terlalu dominan. Sebab, orang pergi ke bioskop untuk mendapatkan gambar dan suara dengan kualitas terbaik serta memperoleh hiburan dan pengalaman atau sensasi yang berbeda.
“Jika tidak ada pembajakan, mungkin bisnis kami 10% lebih baik dari sekarang. Kalau ditanya apakah ada efeknya, tentu saja ada. Tapi apakah efeknya besar? Saya pikir, tidak terlalu besar. Pembajakan menjadi masalah, bukan hanya di Indonesia, tapi juga secara global. Semua mencoba berbagai upaya untuk mengurangi pembajakan. Tapi pembajakan film sekarang sudah jauh berkurang,” tuturnya.
Brian Riady tak menafikan pengaruh film terhadap kehidupan masyarakat. Itu sebabnya, Cinemaxx tetap memperhatikan nilai-nilai moralitas di masyarakat. “Kami punya visi grup, yaitu transforming life. Kami percaya bahwa dengan menonton film, orang bisa teraspirasi. Film bisa memberikan aspirasi ke banyak orang. Apa yang mereka tonton biasanya mengedukasi mereka. Ini kesempatan kami untuk menanamkan nilai-nilai yang benar dan kesempatan bagi produsen film untuk mengedukasi masyarakat,” tegasnya.
Brian menandaskan, sejak memulai bisnis bioskop, pihaknya sudah memastikan bahwa film yang diputar di bioskop atau Cinemaxx bukan semata-mata untuk menghibur, tapi juga mendidik. “Jika kami melihat film yang benar-benar disukai dan menyukai ceritanya serta punya pesan cerita dan pendidikan yang bagus, kami akan bantu promosinya,” demikian Brian Riady (S-ID/BS/jr)