Jakarta, 14/3/18 (SOLUSSInews) – Fahmy Radhi, mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas mendesak pemerintah agar segera menghapus Premium.
Selain potensial menjadi sarang mafia migas, juga karena berdampak sangat buruk terhadap lingkungan dan kesehatan, bahkan menjadi pemicu kanker. “Makanya, Premium harus dihapuskan. Semakin cepat semakin baik,” kata Fahmy di Jakarta, Selasa (13/3/18).
Dikatakannya lagi, BBM oktan rendah memang rawan dimanfaatkan para pemburu rente untuk meraup keuntungan. Itu pula yang menjadi dasar Tim Reformasi Tata Kelola Migas, dalam merekomendasikan penghapusan Premium, sesaat sebelum Tim tersebut dibubarkan.
Menyikapi rekomendasi tersebut, ketika itu Pertamina menyetujui penghapusah Premium dalam waktu dua tahun. Namun, sekitar tiga tahun hingga saat ini, ternyata BBM oktan rendah masih juga beredar.
Fahmy menambahkan, dari hasil temuan Tim, terdapat dua tempat yang rawan memunculkan mark-up. Pertama, pada saat proses bidding, yaitu pengadaan (lelang). Kedua, pada saat proses blending (pencampuran).
Hal itu terjadi, menurutnya, karena BBM oktan 88 tidak dijual di pasar internasional. Akibatnya, untuk memproduksi Premium harus dilakukan melalui proses pencampuran BBM oktan yang lebih tinggi.
“Selain itu, karena tidak dijual di pasar internasional, maka sama sekali tidak ada acuan harga untuk Premium. Ini berbeda dengan Pertamax atau Pertalite saat ini, yang punya harga acuan, sehingga kalau di-mark up akan ketahuan,” kata Fahmy.
Faktor lingkungan
Fahmy juga menyinggung soal faktor lingkungan dan kesehatan. Terkait faktor lingkungan, Fahmy mengingatkan komitmen Presiden RI pada Conference of Parties 21 Paris tahun 2015, di mana Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29% di bawah business as usual pada tahun 2030 atau 41% dengan bantuan internasional.
Di sisi lain, hasil penelitian bersama antara Universitas Indonesia (UI) dan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menyebutkan, bahwa emisi BBM oktan rendah bisa menjadi pemicu penyakit mematikan, yaitu kanker. “Semua itu semakin menguatkan desakan untuk segera menghapus Premium secepatnya,” tegasnya.
Fahmy meyakini, penghapusan premium tidak akan memunculkan resistensi pada masyarakat, terutama di Jawa, Madura, dan Bali. Apalagi, menurut pengamatannya, migrasi konsumen dari Premium ke BBM oktan tinggi, ternyata dilakukan atas kesadaran sendiri. Bahkan di berbagai SPBU, lanjut dia, terlihat begitu banyak sepeda motor yang antre Pertamax, bukan lagi Pertalite.
“Makanya patut dicurigai, jika ada yang mengatasnamakan rakyat demi mempertahankan Premium. Saya mengindikasi, mereka memiliki kepentingan atas Premium,” katanya lagi.
Masyarakat jadi korban
Terpisah, Koordinator Indonesia Energy Watch (IEW), Adnan Rarasina juga mendesak penghapusan BBM oktan rendah. Jika tidak dihapuskan, yang menjadi korban masyarakat sendiri.
“Pemerintah jangan membodohi masyarakat. Kasihan, kendaraan mereka akan rusak. Pemerintah harus terbuka, bahwa BBM oktan rendah tidak cocok untuk mesin sekarang,” kata Adnan.
Ditambahkan, harusnya Pemerintah melihat, hampir semua negara telah menghapuskan BBM oktan di bawah 90, kecuali untuk keperluan terbatas, seperti militer dan kendaraan keluaran tua. Bahkan, Filipina dan Vietnam, juga sudah meninggalkan BBM berkualitas rendah tersebut.
Adnan menduga, sikap Pemerintah yang masih mempertahankan BBM RON 88, karena masih kuatnya keberadaan para mafia. Mereka tentu tidak rela, jika lahan bisnis yang subur akan dihabisi.
“Harusnya bersihkan saja sekalian sarangnya. Dulu Pemerintah sukses ketika konversi minyak tanah ke gas, dimana minyak tanah pun diduga menjadi sarang mafia. Lantas, mengapa sekarang seperti setengah hati?” tanya Adnan Rarasina, seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’. (S-BS/jr)