Lippi Village, 21/5/18 (SOLUSSInews) – Penyebatan bibit fanatisme, terita a melalui media sosial, merupalan fakta di lapangan belakangan ini. Dan banyak masalah yang terjadi dikarenakan oleh bibit-bibit fanatisme tersebut. Ini membuat kita harus lebih waspada dan bijak dalam menghadapinya.
Pasalnya, setiap orang tentu memiliki perbedaan dan oleh karena itu. Dan tentu kita harus menghargainya, agar tidak terjadi perpecahan dan terprofokasi.
Inilah yang terangkat di awal dialog sebagai antisipasi untuk menyikapi masalah masalah fanatisme tersebut.
Dialog santai ini mengangkat gagasan-gagasan pencerahan dan berlangsung pada hari Kamis (17/5/18) lalu, merupakan HRD dan LPPM UPH.
Disky, mahasiswa Bussines School Universitas Pelita Harapan (UPH), melalui Staf PR UPH, melaporkan, dua intitusi ini mengadakan acara bulanan yang dinamakan Café Sweet Talk, dengan tema ‘Fanatisme’.
Dialog ini menghadirkan dua pembicara Dr Fransisco Budi Hardiman, Coordinator of History of Thought CourseFakultas Liberal Arts UPH, dan Chandra Han ST, MDiv, MTh., Dosen Teachers College UPH.
Kenali faktor penyebab
Tema ‘Fanatisme’ yang dipilih dalam Sweet Talk kali ini bertujuan untuk mengembangkan gagasan–gagasan dan pengertian lebih mendalam tentang fanatisme, sehingga kita tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.
“Fanatisme sendiri memiliki definisi sebagai cara berfikir, bersikap, berinteraksi, dan berkuasa yang meyakini kemutlakan pemahamannya sendiri dan memaksakan pemahamannya itu kepada lingkungannya,“ tutur Dr Frans.
Fanatisme, menurutnya, juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti adanya pola asuh yang menanamkan bibit fanatisme, lingkungan tempat dia tinggal, proses marginalisasi, perubahan sosial, didasari oleh pemikiran fanatik, dan terutama adanya interaksi terlalu kompetitif atau ingin menang sendiri.
“Fanatisme juga terjadi hanya pada masyarakat yang majemuk atau berbeda kepercayaan karena adanya pilihan cultural,” paparnya.
Kasihi orangnya
Chandra bersama Frans lalu memberikan tips untuk kita, agar bisa terhindar dan mengatasi fanatisme.
Yaitu, menurut Chandra, dengan cara mengasihi orang yang fanatik, karena sebenarnya mereka kesepian dan butuh pencerahan.
Sedangkan menurut Frans, dengan cara memperkaya pengalaman kontak dengan kebudayaan dan keyakinan, serta lebih memperkaya selera humor. “Karena orang yang fanatik biasanya memiliki wajah yang terlalu serius,” ungkapnya.
Frans menambahkan pesan dengan mengajak kita untuk beriman secara sehat. Juga disertai dengan skeptitisme yang sehat dan hargailah perbedaan karena manusia diciptakan unik. (S-DS/RH/jr)