Jakarta, 16/9/18 (SOLUSSInews) – Bayi yang lahir di tahun krisis bisa bertumbuh dengan dua kemungkinan. Menjadi bayi sehat atau bayi yang sakit-sakitan. Bayi yang sakit-sakitan akan menjadi manusia stunting atau kerdil. Sedang bayi yang mampu bertumbuh sehat di masa krisis, kelak akan menjadi manusia tahan banting. Manusia yang mampu survive di setiap krisis dan menjadi lebih kuat setelah masa krisis.
Terbit perdana, 16 September 1998, Majalah Investor lahir saat Indonesia diterjang krisis mendalam. Krisis multidimensi yang berawal dari krisis moneter. Saat rupiah terkapar dihajar dolar AS, perbankan ambruk. Efek domino pun terjadi. Ekonomi terpuruk, harga beras dan BBM melambung. Aksi demo mahasiswa merebak. Kerusuhan massal dan penjarahan terjadi di mana-mana. Soeharto akhirnya lengser dari kursi presiden yang sudah didudukinya selama 32 tahun.
Dalamnya krisis ekonomi tahun 1998 terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang minus 13,1%, inflasi 82,4%, nilai tukar rupiah yang merosot dari Rp 12.500 ke Rp 16.650 per dolar AS, suku bunga acuan Bank Indonesia yang melesat hingga 60%, dan lumpuhnya lembaga keuangan. Kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) gross membengkak hingga 30% dan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) minus 18%.
Pemerintah dan swasta tercekik utang luar negeri. Apalagi mayoritas kredit tidak ada lindung nilai atau hedging. Ditambah utang swasta, rasio utang Indonesia terhadap PDB melampaui 150% dari PDB. Rasio utang pemerintah terhadap PDB menembus 100% dan cadangan devisa saat itu hanya US$ 17,4 miliar. Banyak bank ditutup akibat masalah likuiditas dan solvabilitas. Mayoritas perusahaan multifinance terbelit utang dan tak mampu beroperasi.
Di Bursa Efek Indonesia, harga saham berguguran. Indeks harga saham gabungan terpangkas hingga tinggal 256. Pemodal asing menarik hampir semua dananya dari instrumen portofolio di Indonesia. Harga saham hanya senilai toilet paper. Tidak sedikit pemodal lokal yang sakit jiwa akibat rontoknya harga saham. Di antara mereka ada yang sampai bunuh diri, tidak mampu menahan tekanan.
Majalah Investor terbit sebagai media investasi, dengan berfokus pada investasi portofolio. Dengan jaringan yang baik ke para pengambil keputusan dan para jurnalis yang paham investasi, kehadiran Majalah Investor diterima pembaca yang menjadi target pasar. Majalah ini dianggap sebagai media pembangkit optimisme terhadap masa depan ekonomi Indonesia. Atas permintaan pembaca, Investor sempat beberapa tahun terbit dwimingguan.
Publik terperangah ketika pada edisi perdana, Majalah Investormemperkirakan dana yang harus dikeluarkan pemerintah untuk merekapitalisasi perbankan mencapai Rp 400 triliun. Pembaca umumnya tidak percaya. Dalam perjalanan waktu, pokok obligasi rekap yang diterbitkan pemerintah mencapai Rp 430,4 triliun dan bunga obligasi rekap menembus Rp 600 triliun. Setelah reprofiling atau masa pembayaran obligasi rekap yang diperpanjang hingga 2030, total biaya rekap perbankan sekitar Rp 1.360 triliun.
Mayoritas bank yang kini tegak berdiri dan dalam kondisi segar bugar bisa selamat karena ada langkah penyelamatan dari pemerintah. Waktu itu, ada dana awal yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) sebagai lender of last resort. Sejak awal Juli 1997, rupiah sudah dibuat tak berdaya dan perbankan mulai goyah. Setelah 16 bank dilikuidasi, 1 November 1997, kondisi perbankan justru kian buruk. Keadaan ini memaksa BI memberikan liquidity support atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) guna menghindari rush atau penarikan besar-besaran dana pihak ketiga oleh masyarakat yang panik. Bank sebesar BCA pun tidak tahan rush.
BLBI “menyelamatkan” perbankan. Namun, pemberian BLBI yang mencapai Rp 144,5 triliun hingga awal 1999 belum mampu memulihkan kepercayaan masyarakat. Pemerintah kemudian memberikan modal kepada perbankan yang dipertahankan tetap beroperasi. Namun, karena biaya rekapitalisasi yang sangat besar, pemerintah hanya mampu membayar dengan menyicil.
Untuk meyakinkan masyarakat, pemerintah menerbitkan obligasi rekap senilai Rp 430,4 triliun. Bank penerima obligasi rekap dicatat di sisi kiri balance sheet atau di sisi aset. Setiap tahun, bank penerima obligasi rekap mendapat bunga dan dan pada waktunya menerima juga cicilan pokok obligasi rekap. Cara ini sukses menyehatkan perbankan. Hingga saat ini, masih banyak bank yang menerima bunga dan cicilan pokok obligasi rekap.
Sedang para pemilik bank diwajibkan untuk mengembalikan BLBI dan dana rekap lewat aset yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Waktu itu, pemerintah memberlakukan konsep one-single obligor. Utang seorang pengusaha yang ada bank dan di lembaga keuangan lain dihitung sebagai satu-kesatuan. Nilai aset yang wajib dialihkan ke BPPN harus setara nilai kewajiban si obligor. BPPN menggunakan appraisal dan auditor independen untuk menilai aset obligor.
Hingga saat ini, kualitas pengelolaan aset oleh BPPN dan lembaga penggantinya masih menyisakan pertanyaan. Karena asset recovery rate atau tingkat pengembalian aset jauh di bawah utang obligor. Para obligor tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena aset obligor sudah dialihkan ke BPPN dan lembaga ini tak bisa cuci tangan terhadap kemerosotan kualitas aset.
Ini sekadar kilas balik ekonomi Indonesia di masa kelam. Krisis ekonomi 1998 sangat serius. Tanpa ada bail out dari pemerintah lewat BLBI dan obligasi rekap, krisis ekonomi akan panjang dan Indonesia bisa terperosok ke resesi ekonomi. Kondisi ekonomi saat ini, jauh beda dengan 1998, bahkan dengan krisis ekonomi 2008 sebagai dampak subprime mortgage. Kecuali rupiah, neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan neraca pembayaran, indikator ekonomi Indonesia dalam kondisi bagus. Perbankan sehat bugar dengan CAR di atas 25% dan NPL gross di bawah 3%.
Tahun ini, ekonomi bertumbuh di atas 5%, inflasi Agustus 2018, year on year, 3,2%. Suku bunga acuan bank sentral, BI-7-day-reserve repo rate 5,5%. Nilai tukar rupiah melemah dari Rp 13.100 ke Rp 14.850. Kurs yang menjadi asumsi APBN 2018 adalah Rp 13.400, tapi rata-rata kurs selama Januari-14 September 2018 sekitar Rp 13.995. Cadangan devisa US$ 118 miliar. Semua indikator perbankan dalam keadaan bagus.
Ada banyak hal yang menjadi pembelajaran kita sebagai bangsa dari krisis 1998. Pertama, struktur ekonomi kita yang tidak seimbang. Industri manufaktur sangat lemah, sehingga ekspor Indonesia didominasi ekspor komoditas. Neraca transaksi berjalan yang selalu defisit dan investasi di pasar saham dan obligasi yang didominasi asing. Tenaga kerja yang didominasi unskilled labour. Sejak 1998 hingga saat ini, struktur ekonomi ini belum mengalami perubahan signifikan.
Kedua, bailout yang tidak diawasi dan dikawal ketat menimbulkan moral hazard. Banyak BLBI yang tidak diberikan tepat sasaran dan disalahgunakan. Obligasi rekap juga terkesan berlebihan dan membebani APBN.
Ketiga, pemerintah Indonesia terlalu mudah percaya pada pujian dan arahan lembaga keuangan asing. Pada tahun 1997, lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia masih menilai fondasi ekonomi Indonesia kokoh. Atas saran IMF, terjadi penaikan suku bunga gila-gilaan dan fire sales aset obligor oleh BPPN. Dalam beberapa tahun, pemerintah didikte lewat letter of intent oleh IMF, peminjam sekaligus penasihat ekonomi pemerintah itu.
Dalam perkembangannya, Majalah Investor konsisten membawa masyarakat pembaca dari saving society ke investing society. Masyarakat Indonesia juga diedukasi untuk melakukan proteksi lewat produk asuransi, menghindari investasi bodong atau penipuan berkedok investasi dan membeli instrumen pasar modal secara cerdas.
Untuk membantu pembaca mengenal lebih dalam perusahaan publik dan institusi keuangan sekaligus mendorong para pelaku industri keuangan untuk terus berusaha menjadi yang terbaik, Majalah Investor melakukan pemeringkatan terhadap perusahaan publik dan berbagai institusi keuangan serta memberikan penghargaan kepada yang terbaik. Setiap tahun, Majalah Investor membuat pemeringkatan dan memberikan awards kepada emiten terbaik, bank terbaik, asuransi terbaik, unit link terbaik, multifinance terbaik, perusahaan sekuritas terbaik, reksa dana terbaik, dana pensiun terbaik, syariah tarbaik, BUMN terbaik, dan tokoh finansial.
Lahir di tahun krisis, Majalah Investor sudah terbukti survive di tahun-tahun krisis, 1998 dan 2008. Tapi, tantangan demi tantangan tak pernah berhenti. Saat ini, tantangan terbesar yang dialami Majalah Investor adalah perubahan perilaku pembaca yang mulai shifting atau beralih dari platform cetak ke digital. Mengikuti trend perubahan perilaku pembaca, Majalah Investor sudah menyediakan e-paper. Pembaca, di mana pun berada, bisa mengakses e-paper Majalah Investor.
Majalah Investor mampu eksis 20 tahun karena dukungan pembaca, perusahaan pemasang iklan, dan para sponsor berbagai acara yang digelar. Karena itu, selain mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa yang telah memberikan segalanya, kami menyampaikan terimakasih kami yang tulus kepada para pembaca, pemasang iklan dan sponsor, serta para narasumber.
Dirgahayu Majalah Investor ke-20!
Salam hormat,
Primus Dorimulu
Pemimpin Redaksi
*) Disadur dari ‘BeritaSatu.com’, edisi 16 September 2018