Jakarta, 1/11/18 (SOLUSSInews) – Pemerintah melalui Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyatakan, pasti menutup defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Ditegaskannya lagi, Pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah untuk mengatasi defisit yang tahun ini diperkirakan mencapai Rp16,5 triliun. Yakni, terdiri dari prognosis defisit tahun 2018 sebesar Rp12,1 triliun dan Rp4,4 triliun defisit tahun lalu.
“Langkah pertama, kita melihat peran pemerintah daerah. Ini penting melihat peran pemerintah. Kementerian Keuangan mendapati pemda yang masih banyak punya utang,” ujar Wakil Menteri Keuangan (Wakil Menkeu) ini, Rabu (24/10/18) pekan lalu.
Untuk mengatasi tunggakan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) dari Pemda, pihaknya telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183 Tahun 2017 demi mendisplinkan Pemerintah Daerah.
Dengan PMK tersebut diharapkan pemerintah daerah akan lebih patuh, terutama dalam membayar iuran BPJSK.
Wakil Menkeu, Mardiasmo
Selain itu, pihaknya juga telah mengeluarkan kebijakan melalui penerbitan PMK Nomor 222 Tahun 2017 tentang penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) serta pemanfaatan dana pajak rokok, yang sudah ditandatangani oleh presiden. “Karena semua daerah pasti ada yang merokok,” katanya.
Kementerian Keuangan juga berupaya melakukan efisiensi dana operasional BPJS Kesehatan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209 Tahun 2017 tentang Besaran Persentase Dana Operasional.
Khusus menangani defisit keuangan BPJSK, pihaknya juga telah mengeluarkan PMK Nomor 113 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
“Kementerian Keuangan sudah mencairkan dana talangan Rp 4,9 untuk menutup sebagian defisit tahun,” katanya lagi.
DPR minta ada dana talangan
Sementara itu, Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf, meminta Pemerintah memberikan dana talangan secara penuh kepada BPJSK. Sebab, defisit anggaran yang dialami sudah terlalu besar dan tak bisa ditutup dengan anggaran minim.
Disebutnya, suntikan dana dari pemerintah sebesar Rp4,9 triliun yang telah dicairkan September lalu, masih kurang.
“Kalau hanya dengan Rp4,9 triliun, mungkin setelah Desember kita kejang-kejang lagi. Jadi kalau mau kasih infus, jangan tanggung,” kata Dede di Jakarta, Kamis (25/10/18).
Dana sebesar Rp4,9 triliun untuk menambal defisit BPJSK bersumber dari APBN. Anggaran itu diambil dari pos dana cadangan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Pemerintah, lanjutnya, seharusnya berani menggelontorkan dana besar lantaran diperuntukkan untuk menjamin hak dasar warga dalam memperoleh pelayanan kesehatan.
Ia menyebut, setidaknya Pemerintah perlu mengeluarkan dana sebesar Rp10 triliun sampai Rp11 triliun, agar program jaminan kesehatan yang ada saat ini dapat terus dinikmati masyarakat.
“Menurut saya angka Rp10 triliun sampai Rp11 triliun jika ingin menyelamatkan defisit, bukan suatu hal yang besar, karena yang merasakan itu ratusan juta masyarakat,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrat itu menyebutkan, sejak 2014 BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit. Untuk menutupi defisit tersebut, setiap tahun pemerintah menganggarkan Rp4,5 triliun hingga Rp6 triliun.
Lebih jauh Dede menyatakan, Pemerintah tidak bisa terus-menerus menutup defisit BPJSK.
Pemerintah harus menyiapkan kebijakan lain agar bisa terus menopang BPJSK. “BPJSK tidak bisa selalu disuntik Pemerintah, karena cakupannya luas. Tentu harus ada skema lain yang dilakukan Pemerintah, bukan hanya menyuntik untuk membuat bernapas, tetapi juga running ke depan,” katanya seperti dilansir ‘Suara Pembaruan’.
Tagih iuran PBPU dan BU
Sementara itu, Sekjen Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB), Patrianef menyatakan, persoalan defisit BPJSK perlu dikaji lebih dalam, khususnya di kalangan peserta yang digolongkan sebagai pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP).
Dikatakannya, ada lima golongan peserta BPJSK, yakni penerima bantuan iuran (PBI), pekerja penerima upah (PPU) swasta, PPU dari aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri, PBPU, serta BP. Berdasarkan data tahun lalu, total iuran dari ketiga kelompok pertama lebih besar dari beban pelayanan kesehatan mereka. Total iuran dari PBI Rp25,36 triliun dengan beban Rp20,67 triliun, sehingga terdapat surplus Rp4,69 triliun.
Dokter Patrianef
Untuk PPU swasta, total iuran mencapai Rp21,49 triliun dan beban Rp13,75 triliun, sehingga ada surplus Rp7,74 triliun. Demikian juga dengan total iuran ASN, TNI, dan Polri Rp13,81 triliun dengan beban Rp12,79 triliun, sehingga masih surplus Rp 1,02 triliun.
Namun, untuk PBPU terjadi defisit Rp16,64 triliun, karena total iuran yang dihimpun hanya Rp6,72 triliun, tetapi beban pengobatannya mencapai Rp23,36 triliun. Demikian juga dengan golongan BP yang mengalami defisit Rp5,35 triliun. Sebab, iuran yang dihimpun Rp1,65 triliun, tetapi bebannya mencapai Rp7 triliun.
“Kalau iuran PBPU dan BU bisa ditagih semua dan beban pengobatan di kelompok itu juga bisa ditekan, mungkin tak ada lagi defisit,” katanya.
Patrianef yang kini bekerja di RSCM Jakarta menilai ada yang aneh pada beban pengobatan untuk golongan PBPU. “Seharusnya angka kesakitan akan sama pada semua segmen pada satu populasi. Jika tiga golongan pertama, bisa surplus, seharusnya pada PBPU dan BP, juga surplus,” katanya.
Upaya lain untuk menekan defisit, lanjut Patrinef, ialah mengurangi dana operasional BPJSK dari 4,8 persen dari total iuran yang dihimpun menjadi sekitar 3,5 persen.
“Penghematannya bisa mencapai Rp1 triliun. Sebagian besar ahli berpendapat, penuhi dahulu perhitungan aktuaria, baru dihitung masalah dan defisitnya. Kalau saya sebaliknya, pungut semua tagihan, tutup semua kebocoran, baru dilihat apakah ada defisit atau jangan-jangan surplus,” katanya.
Peraturan picu defisit
Lain lagi pendapat praktisi kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Laksono Trisnantoro.
Ia mengatakan, ada yang salah dalam regulasi operasional maupun sistem layanan JKN. Terutama undang-undang yang justru memicu defisit.
Yakni, adanya aturan yang memungkinkan orang kaya menjadi peserta BPJSK dengan premi sangat murah, tetapi mendapat pelayanan kesehatan tak terbatas, seperti cuci darah dan transplantasi jantung. Ini membuat defisit terus terjadi.
“Berapa pun subsidi yang diberikan Pemerintah, tidak akan mampu menyelesaikan masalah defisit tersebut,” katanya.
Solusi dari GKR Hemas
Solusi yang bisa dilakukan pemerintah ialah memperbaiki regulasi dan mendorong direksi BPJSK melakukan efisiensi dana operasional. Dengan demikian diharapkan tingkat kesehatan keuangan BPJSK akan tetap terpelihara.
Pernyataan senada disampaikan anggota DPD dari Yogyakarta, GKR Hemas. Disebutnya, Keputusan Pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan terbaik bagi masyarakat sudah tepat, tetapi belum diikuti kesadaran peserta membayar iuran tepat waktu.
“Ini perlu evaluasi bersama, sebab dibutuhkan sosialisasi yang tidak singkat, sekaligus kesadaran secara pribadi dari masyarakat pengguna layanan BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Hemas juga meminta Pemerintah mengkaji pemberian manfaat bagi peserta berdasarkan besaran iuran, serta sanksi bagi penunggak iuran.
“Perlu dievaluasi memang, termasuk manajemen BPJSK-nya. Bayangkan, bayar premi Rp100.000, tetapi mendapat layanan kesehatan lebih dari Rp5 juta. Setelah berobat, pembayaran iurannya macet. Ini menjadi problem. Karena itu, saya kira seberapa pun subsidi yang digelontorkan pemerintah, bahkan mencari alternatif suntikan dana, tetap tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini,” demikian GKR Hemas.