Jakarta, 16/11/18 (SOLUSSInews) – Adanya dugaan kasus suap perizinan proyek yang menjadikan Bupati Bekasi bersama sejumlah pejabatnya dan beberapa staf pengembang Meikarta terpaksa berusuan dengan KPK, ternyata tak membuat anjlok drastisnya saham PT Lippo Cikarang Tbk selaku induk PT Mahkota Sentosa Utama (pengembang utama Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat).
Malahan, CNBC Indonesia menayangkan, setelah sempat tertekan karena dugaan kasus suap tersebut, harga saham PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) pada perdagangan sejak 24 Oktober 2018 lalu melesat tinggi.
Memang, tidak ada informasi tambahan yang disampaikan oleh manajemen kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sebagaimana dilansir CNBC Indonesia selanjutnya, harga saham LPCK pada pukul 10.43 WIB hari itu, melesat 24,81 persen, atau hampir menyentuh level auto rejection atas ke harga Rp1.660/saham. Sedangkan Volume perdagangan saham mencapai 5,56 juta ke level Rp8,66 miliar.
Sebagaimana diberitakan, sejak dugaan kasus suap itu merebak ke permukaan, harga saham LPCK terus terkoreksi. Jika dihitung dalam sebulan terakhir harga, saham LPCK turun 9,29 persen.
Artinya kenaikan signifikan sejak 24 Oktober lalu, setidaknya mulai menghapus koreksi yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
Anak usaha tidak langsung
Mega-proyek Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, merupakan properti yang dikerjakan oleh PT Mahkota Sentosa Utama (PT MSU). Sedangkan PT MSU ini anak usaha dari PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK).
Sementara LPCK merupakan anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), Divisi Bisnis Properti Lippo Group, yang kini berada di dereta papan atas pengembang nasional.
Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Bekasi terkait proyek Meikarta. Ada beberapa orang yang diamankan dalam OTT KPK.
Para pihak yang ditangkap KPK antara lain, Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Najor, Dewi Tisnawati (Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi), dan Neneng Rahmi (Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi).
KPK juga sudah menahan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro. Billy datang langsung ke KPK.
Awal November ini, Wakil Ketua KPK, Alex Mawarta menyatakan, pihaknya tidak menyatukan kasus dengan proyek.
Artinya, kasus hukum berjalan sendiri, terpisah dengan proyek properti. Karenanya, Meikarta dipersilahkan meneruskan proyeknya, tentu di atas lahan yang sudah memiliki kelengkapan izin resmi.
Sengkarut perizinan proyek properti
Secara terpisah, praktisi bisnis properti, Dadiet Waspodo menyorot ‘ribet’-nye proses perizinan sektor properti di Indonesia.
“Benar-benar ini masalah krusial. Investor, atau pengembang butuh kecepatan, karena juga untuk menjamin dana mereka tidak terkena bunga ber bunga. Sementara meja perizinan yang harus dilewati puluhan meja birokrasi, dan memakan waktu di hingga tiga tahun,” ungkapnya di Jakarta, Selasa (13/11/18).
Akibatnya, banyak pengembang terjebak pada praktik menyimpang, kendati hal itu jelas melanggar aturan, seperti suap. “Dan ini juga dimungkinkan, karena birokrasi kita belum benar-benar pulih dari situasi lama menuju clean and good government yang sejalan dengan amanat reformasi,” tandasnya kepada Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’.
Proses perizinan di Indonesia, terutama di sektor properti, menurutnya, kalah jauh dari Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam dan Filipina. Di sana, demikian Dadiet, cuma butuh tiga hingga lima hari, sudah beres, dan tidak ‘ribet’ melewati belasan hingga puluhan meja birokrasi. Sementara di Singapura, kini cukup sehari, paling lambat dua hari.
Kenapa di Indonesia prosesnya panjang dan lama? “Karena izinnya bermacam-macam, ada dua puluh hingga empat puluhan,” katanya lagi.
Dia lalu menunjuk sikap tegas Presiden Joko Widodo, ketika membuka sebuah pameran akbar properti yang diselenggarakan Real Estat Indonesia (REI) beberapa waktu lalu, sebagaimana dilansir Investor Daily.
Presiden kritik perizinan properti kuno
Saat itu, sebagaimana dilansir Investor Daily, Presiden Jokowi meminta para pengembang untuk mengadu kepada dirinya, jika ada pemerintah daerah (Pemda) yang masih lamban mengeluarkan izin perumahan. Dia berjanji akan langsung menelepon gubernur, bupati, dan walikota yang menghambat izin perumahan.
Pasalnya, Presiden Jokowi tidak habis mengerti mengapa masih kerap mendengar keluhan soal rumitnya perizinan dalam industri properti.
Kepala Negara menganggap pengurusan perizinan properti yang harus makan waktu berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan sebagai sesuatu yang sangat kuno dan malumaluin. Sudah bukan zamannya lagi pemerintah daerah mempersulit perizinan.
Pemerintah beberapa waktu lalu juga sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Peraturan tersebut intinya memangkas sejumlah perizinan yang tidak perlu, seperti izin lokasi, izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan sebagainya. Tapi praktiknya, banyak pemda yang tidak menggubris PP tersebut dan masih menerapkan sejumlah izin yang sudah dihapus.
REI nyatakan properti butuh 48 izin
Berdasarkan catatan REI, ada sekitar 48 izin yang harus dilalui sebuah pengembang untuk mewujudkan pembangunan sebuah proyek properti perumahan. Konon, mengurus seluruh izin tersebut dibutuhkan waktu hingga tiga tahun.
Memang, pengembang tetap bisa memulai pembangunan properti di tengah jalan, sambil menuntaskan pengurusan izin. Namun, praktik semacam itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Belum lagi masalah biaya-biaya siluman yang harus dikeluarkan oleh para pengembang.
Begitulah kenyataan yang terjadi di lapangan. Apa yang sudah diputuskan di pusat belum tentu diikuti oleh pemerintah daerah.
Pimpinan daerah dinilai arogan
Fenomena tersebut, menurut sejumlah kalangangan properti, mencerminkan sikap arogansi pimpinan daerah yang tak ubahnya raja-raja kecil, karena merasa bukan diangkat oleh pusat, melainkan dipilih langsung oleh rakyat.
Itulah konsekuensi buruk sebuah desentralisasi dan demokrasi yang tak terkendali.
Sistem perizinan yang buruk hanya akan membawa Indonesia dicap sebagai negara yang tidak ramah terhadap investor.
Sistem perizinan yang buruk, rumit, dan berbelit akhirnya membuat Indonesia ‘dihukum’ oleh para investor. Dan hasilnya terefleksikan pada penurunan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) 2019 ke posisi 73, dibanding EoDB 2018 yang berada di urutan ke-72 dari 190 negara yang disurvei oleh Bank Dunia.
Dari 10 indikator yang dijadikan penilaian dalam penyusunan laporan EoDB tersebut, terbukti mengurus izin konstruksi di Indonesia sangat rumit. Itulah sebabnya, untuk indikator tentang izin konstruksi, peringkat Indonesia turun dari 108 ke posisi 112.
Sektor properti sangat strategis
Padahal kita tahu, properti merupakan sektor yang sangat strategis. Sektor ini merupakan leading indicator ekonomi yang melibatkan setidaknya 174 industri terkait berikut turunannya, sehingga menyerap banyak tenaga kerja.
Kekuatan sektor properti juga tercermin pada kapitalisasi pasar dari 46 grup pengembang yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, yang tahun lalu menembus Rp280 triliun.
Belum lagi jika diperhitungkan dengan 4.500 pengembang anggota REI yang terdiri atas 1.000 perusahaan pengembang rumah nonsubsidi dan 3.500 anggota pengembang rumah bersubsidi.
Berkaca pada besarnya potensi industri properti itulah, maka sangat disayangkan banyak pemerintah daerah yang menghambat perizinan properti.
Kini tiga provinsi oke
Sejauh ini, menurut pengakuan pengurus REI, baru ada tiga provinsi yang mempermudah perizinan, yakni DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selata. Padahal di lain sisi, pemerintah sedang menggenjot pembangunan sejuta rumah setiap tahun.
Proses panjang dan rumitnya perizinan menjadi salah satu penyebab utama target pembangunan sejuta rumah yang digulirkan pemerintah sejak 2015 itu tidak pernah tercapai. Padahal, setiap tahun kebutuhan hunian mencapai 800.000 unit. Itu belum termasuk limpahan kebutuhan rumah yang belum terpenuhi dari tahun-tahun sebelumnya (backlog) sekitar 12 juta rumah.
Pihak REI pun mengimbau pemerintah daerah untuk bersikap ramah terhadap investor. Jangan mempersulit animo penanam modal untuk berinvestasi di daerah, padahal itu bakal menjadi sumber pendapatan daerah yang potensial, di samping menyerap banyak tenaga kerja. Simplifikasi dan standardisasi proses perizinan di sektor properti harus menjadi agenda prioritas pemerintah daerah.
Jika masih ada Pemda yang membandel, Presiden harus segera menjewer pimpinannya, sesuai yang dia janjikan. Dalam konteks ini, para pengembang tidak perlu takut melaporkan kepada pemerintah pusat oknum-oknum pemda yang mempersulit perizinan, demi perbaikan iklim investasi secara menyeluruh.
Eksistensi Meikarta atasi ‘backlog’ hunian
Nah, kehadiran kompleks hunian terintegrasi lagi modern dengan harga terjangkau, seperti Meikarta, yang dikembangkan di sekitar beragam mega-proyek infrastruktur nasional, menurut praktisi bisnis properti lainnya, Teddy Sanjaya, merupakan tawaran menarik bagi para konsumen.
“Sudah harganya terjangkau, dilengkapi fasilitas modern, di lokasi yang benar-benar terintegrasi, seperti ada sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, kawasan sport dan budaya, juga arena hijau central park seluas 100 Ha dengan danau, kebon binatang serta kebon raya mini di dalamnya,” ungkapnya kepada ‘SOLUSSInews’, Selasa (13/11/18).
Artinya, ini merupakan kompleks hunian ideal, sekaligus mendukung upaya pemerintah untuk mengatasi defisit atau backlog hunian rata-rata di atas sejuta per tahun.
“Kami melihatnya, Meikarta sesungguhnya merupakan sebuah model hunian yang modern, terintegrasi serta berada atau dikelilingi infrastruktur lengkap. Itu sebabnya, mengapa konsumen tetap memburunya hingga kini, kendati pun ada segelintir petinggi pengembang Meikarta sedang terjerat dugaan kasus suap bersama Bupati Bekasi dan sejumlah stafnya,” ungkapnya.
Disebutnya, terjeratnya beberapa petinggi pengembang Meikarta itu, bisa terjadi karena kemungkinan harus menghadapi ‘ribet’-nya proses perizinan di tingkat Pemda, baik Kabupaten, Kota hingga Provinsi.
“Situasi ini mestinya sudah bisa diakhiri, jika birokrasi di daerah bisa mengadopsi apa yang dilakukan Pemerintah Pusat, dalam upaya memangkas proses perizinan yang bisa memakan waktu hingga tiga tahun, karena mesti memproses 48 izin, baru bisa membangun kompleks hunian,” tandasnya.
Kendati begitu, menurutnya, kendari pengembang Meikarta lagi terbelit kasus hukum, namun publik melihat pada fakta di lapangan, di mana mega-proyek Meikarta jalan terus, karena didirikan di atas kawasan yang sudah resmi berizin (lebih 80 Ha).
“Memang ada sebagian besar lagi kawasan harus mendapat dukungan perizinan seperti Amdal, layak lalu lintas, dan lain sebagainya hingga IMB. Ya, sekitar 40-an izinlah. Mungkin di sanalah KPK mengendus adanya dugaan suap,” ujarnya lagi.
Tetapi, Teddy mengaku tidak mau berandai-andai, karena toh penyelidikan sudah sedang berlangsung, dan pihak pengembang Meikarta, yakni PT Mahkota Sentosa Utama (PT MSU) begitu kooperatif serta menghormat proses di KPK.
Yang pasti, menurut Teddy, ketika PT MSU mampu membuktikan komitmennya untuk menyerahterimakan unit-unit hunian sesuai waktu yang ditentukan, seperti 863 unit di kawasan CBD Meikarta pada 1 September 2018 lalu, itu merupakan faktor kunci, dimana konsumen tetap loyal dengan pengembangan Meikarta. Itu saja.
“Dan faktor pemicu lainnya, karena ketersediaan infrastruktur, yang memudahkan penghuni cepat tiba di lokasi pekerjaan. Apalagi ada fasilitas resor dan homestay yang modern, plus dikitari ratusan pabrik kaliber internasional sebagai salah satu potensi bisnis untuk digarap para penghuni lewat berbagai aksi bisnis (kuliner, ritel, dst). Asal tahu saja, sepuluh jutaan sepeda motor dan lebih sejuta mobil diproduksi di area kawasan industri di sekitar Meikarta, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, ini,” demikian Teddy Sanjaya. (S-CNB/ID/CS/jr — foto ilustrasi istimewa)