Jakarta, 26/11/18 (SOLUSSInews) – Dalam sebulan lebih terkini, kehidupan para petani kelapa di berbagai sentra produksi di Indonesia, terutama di Provinsi Sulawesi Utara yang berjuluk ‘Bumi Byiur Melambai’, benar-benar terpuruk, karena harga produk-produk perkelapaan, utamanya kopra anjlok.
Bagi Sulawesi Utara (Sulut) yang lebih separuh petaninya berjuang di medan perkebunan kelapa, sehingga oleh beberapa pakar Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) menjulukinua sebagai daerah dengan dominasi ‘ekonomi kelapa’ (coco economy), apalagi di dua sentra utama, Kabupaten Mibahasa Selatsn (Minsel) dan Minahasa Tenggara (Mitra), anjloknua harga kopra brnar-benar sangat memukul ekonomi keluarga.
Itu sebabnya, sebagaimana dilaporkan ‘BeritaKawanua.com’, beberapa hari lalu, ribuan petani kelapa dari Minsel fan Mitra, brrunjuk rasa, serta menuntut kenaikan harga kopra, bahkan sempat ‘menduduki’ sebuah pabrik minyak kelaoa di Amurang, Minsel.
Nah, agaknya, sembari menunggu solusi kebijakan Pemerintah Pusat, juga Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut, juga Pemerintah Kabupaten (Pemkab), ada baiknya upaya Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) patut diatensi serta diaplikasikan.
Garap peluang bisnis
Dilaporkan, Kemenkop dan UKM kini mendorong Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi menggarap peluang bisinis serat kelapa di Tanah Air. Sebab, potensi sektor ini sangat tinggi dan menjanjikan.
Hal ini sampaikan Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop), Abdul Kadir Damanik di Jakarta Selatan, Senin (19/11/18( pekan lalu.
UKM dan Koperasi harus memaksimalkan peluang bisnis tersebut dengan mengajak masyarakat atau petani mengolah serabut kelapa menjadi serat yang bernilai ekonomi.
“Jadi, serat kelapa yang tadinya terbuang ini dikumpulin (diolah dan akan menghasilkan) uang. Juga tambahan penghasilan bagi masyarakat,” kata Abdul seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’.
Serabut dianggap sampah
Abdul menilai, selama ini masyarakat umum menganggap serabut kelapa (‘gonofu’, istilah di Sulut, Red) masih jadi sampah atau limbah. Sehingga, keberadaannya tidak dimanfaatkan menjadi suatu barang bernilai atau berharga.
Padahal, serabut kelapa yang sudah menjadi serat bisa diolah menjadi suatu barang atau produk. Ini menjadi kesempatan dan peluang untuk memanfaatkannya, apalagi sudah disasar sejumlah industri.
“Kita melihat kelapa ini mempunyai potensi yang begitu besar, tapi dengan segala permasalahan itu (tidak manfaatkan dengan maksimal). Padahal kita penguasa produksi terbesar kelapa di dunia,” ungkap dia.
Ia menuturkan, pihaknya kini sudah melakukan penjajakan dan komunikasi dengan sejumlah elemen terkait potensi yang dimiliki Indonesia, khusus produksi kelapa dan seratnha. Membahas seperti apa pengelolaan dan tata kelolanya sehingga bisa memberikan dampak positif kepada masyarakat.
Bahkan, saat ini sudah ada perusahaan yang tertarik dan mau menampung serat yang dihasilkan petani melalui UKM dan Koperasi, salah satunya adalah PT Rekadya Multi Adiprima (RMA) yang merupakan mitra Astra Ventura.
Indonesia produsen terbesar
RMA sudah menerima bahan serat yang dihasilkan dari kawasan Pangandaran, Jawa Barat. Nantinya akan terus bertambah dan menjangkau semua daerah.
“(Ini) lapangan kerja baru bagi petani atau masyarakat, adi tidak hanya tadi mengumpulkan tetapi ada tenaga kerja baru,” jelasnya.
Indonesia merupakan salah satu penghasil buah kelapa terbesar di dunia saat ini. Dan Sulut, merupakan yang terbesar di Indonesia (meski kini mulai digeser Riau dan beberapa provinsi lain, Red).
Katenanya, potensi serat kelapa jadi industri baru dinilai sangat besar. Ini bisa jadi peluang bisnis menguntungkan baru, bagi para petani kelaoa di Sulut. (B-BS/jr)