Jakarta, 11/12/18 (SOLUSSInews) – Sesungguhnya, pengaturan skor ini sudah menjadi penyakit kronis. Itu sebabnya, semua pihak mendesak agar masalah ini segera diselesaikan. Tujuannya hanya satu. Menyelematkan sepakbola Indonesia. Karena, makin lama kasus ini dibiarkan, kian rusak pula persepakbolaan bangsa ini di masa mendatang.
Ukuran kerusakan itu gampang. Minimnya prestasi baik di kawasan Asia Tenggara maupun di lingkup lebih luas, Asia. Jangan dulu bicara tingkat dunia.
Karena itu, Direktur Utama Persija Jakarta, I Gede Widiade saat ditanya SuaraPembaruan di Jakarta, Senin (10/11/18) meminta kasus pengaturan skor yang terjadi di Liga Indonesia baik Liga 1, 2, dan 3 harus secepatnya dituntaskan.
Disebutnya, hal seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut terlalu lama, karena pada akhirnya mengganggu seluruh pertandingan dan merusak sepakbola di Tanah Air.
“Jika masyarakat menemukan dugaan atau bahkan bukti adanya terjadi praktik pengaturan skor dalam satu pertandingan segera membuat aduan ke pihak kepolisian. Kalau misalnya PSSI tidak berani, masyarakat saja yang membuat aduan. kenapa mesti takut. Kami juga Persija secepatnya akan mengadu ke polisi karena dituding melakukan pengaturan skor. Tunggu saja tanggal mainnya,” ujarnya.
Laporan polisi itu ia lakukan karena Persija, menurutnya, tidak pernah melakukan pengaturan skor. Klubnya bukanlah tim yang bergelimang harta, sehingga bisa memberikan uang kepada para lawan agar memuluskan langkah menjadi kampiun. Bukti lainnya ialah, klub ‘Macan Kemayoran’ ini dapat menjuarai dua gelar pramusim, yakni Piala Presiden dan turnamen Boost Sports Super Fix 2018 di Malaysia.
“Kami main di Jakarta saja susah payah, sampai jadi tim musafir, ngatur skor gimana? Tanyakan saja sama tim-tim yang kalah, kalau ada yang tahu ngatur skor laporkan polisi saja,” jelasnya.
Dia menambahkan, para pelaku dan semua yang terlibat dalam pengaturan skor harus dihukum dengan sanksi sangat berat agar ada efek jera, termasuk pihak yang menuding klub Persija. Dengan adanya laporan ke pihak kepolisian, tentunya akan ada tindakan selanjutnya, bahkan bisa saja ditahan. Diharapkan, pelaku dan orang lain akan jera sehingga tidak mengulangi perbuatan yang sama.
Lebih jauh ia meminta masyarakat untuk proaktif melakukan laporan ke polisi, bila Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai federasi sepakbola tidak berani. Masyarakat, kata dia, bisa melakukan class action untuk menumbangkan tindakan yang merugikan persepakbolaan Indonesia.
Dia mengakui, praktik pengaturan skor di Indonesia bukan hal yang baru. Namun sayangnya, upaya penindakan berjalan seperti siput. Sangat lambat. Kasus demi kasus akhirnya tenggelam begitu saja setelah tidak ada usaha untuk membongkarnya lebih lanjut.
“Jika memang ada niat untuk memberantas mafia pengaturan skor, hal itu tidak akan sulit dilakukan. Yang terpenting, ada kemauan dari semua pihak dalam sepakbola. Hal itu tak lama dan paling tidak sampai seminggu ketahuan pemainnya. Baik di dalam liga mapun PSSI. Asal ada kemauan,” tegas Gede.
Oleh karena itulah, Gede berharap kasus pengaturan skor yang terjadi akhir-akhir ini menjadi momentum untuk menyelidiki kasus ini sampai ke akar-akarnya. Agar di masa depan kasus serupa tidak terulang atau minimal dapat dicegah sebelum terjadi.
Hal senada juga disarankan Akmal Marhali. Menurutnya, jaringan mafia pengaturan skor harus diberantas. Tidak bisa lagi didiamkan atau terkesan membuka pintu untuk praktik-praktik kotor ini. PSSI, pemerintah, dan seluruh komponen pemangku kepentingan sepakbola nasional harus bersinergi memutus mata rantainya.
Bentuk komite khusus
Menanggapi desakan-desakan tersebut, Wakil Ketua Umum PSSI Joko Driyono mengatakan, pihaknya akan membentuk komite khusus (komite ad hoc) untuk memberantas pengaturan skor sepakbola yang akhir-akhir ini kembali mencuat. Diakui, statuta PSSI memungkinkan pembentukan komite ad hoc tersebut.
“Komite ini nantinya akan menginvestigasi keanehan yang terjadi di lapangan dan dalam prosesnya membangun langkah-langkah pencegahan. Tidak langsung mengambil tindakan,” ujarnya.
Joko mengatakan, komite ad hoc yang nantinya bertanggung jawab kepada komite eksekutif ini akan menyelidiki kasus terkait pertandingan yang melibatkan orang-orang di luar struktur PSSI. Pihak-pihak tersebut tidak bisa disentuh oleh komite disiplin PSSI yang hanya berwenang menindak orang-orang dalam lingkup federasi.
“PSSI tidak ingin melampaui kapasitasnya sebagai institusi olahraga. Karena itu, komite ini menjadi praktik terbaik tentang institusi olahraga berinteraksi dengan pemerintah dan juga kepolisian untuk menangani pengaturan skor,” tutur Joko.
PSSI mengupayakan, komite ad hoc ini dibentuk secepatnya sebelum kongres yang rencananya digelar pada 20 Januari 2019. “Pembentukannya tidak perlu persetujuan kongres karena itu hak PSSI,” kata Joko seperti dilansir Suara Pembaruan.
Memang ada
“Memang match fixing itu ada dan ini sudah saya ingatkan dulu. Tentunya hal ini harus diperbaiki secepatnya karena pengelolaan liga itu harus profesional dan transparan. Semua bisa diberantas hanya dengan keberanian dari PSSI,” kata Erick di Jakarta, Senin (10/12/18).
PSSI, menurutnya, harus bisa mencontohi sikap tegas Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi). Federasi ini dengan tegas menghukum delapan pemain Siliwangi Bandung dan satu ofisial tim karena terlibat dalam pengaturan skor pada musim IBL 2016-2017. Pemain-pemain tersebut dilarang bermain di kompetisi basket Indonesia.
PSSI diharapkan juga berani dan tegas jika memang ingin memberantas pengaturan skor, termasuk soal melibatkan kepolisian, yang sudah dilakukan Perbasi dan IBL. “Seperti yang dilakukan oleh Perbasi kemarin di liga bola basket yang menghukum sembilan orang agar tak terlibat lagi di kejuaraan maupun kompetisi bola basket. Jadi harus berani melawan mafia judi seperti ini,” ujar Erick.
Gerogoti semua level
Bahkan, Koordinator Save Our Soccer (SOS), Akmal Marhali yang dihubungi terpisah, Minggu (9/12/18) menyebut Indonesia berada dalam situasi darurat pengaturan skor. Pasalnya, penyakit itu menggerogoti hampir semua level kompetisi.
“Kami di Save Our Soccer membaginya dalam tiga dimensi. Pertama, match acting pemain di lapangan hanya menjalankan kewajiban tampil di lapangan selama 2 x 45 menit dengan hasil pertandingan sudah diskenariokan sebelum pertandingan. Hal ini mirip sepakbola gajah,” ujarnya.
Kedua, match setting atau penentuan juara, degradasi, dan promosi. Ini juga sudah ditentukan oleh kelompok tertentu sebelum kompetisi dimulai. Hal ini diatur sedemikian rupa agar tujuan menjadikan satu tim juara dan promosi bahkan degradasi tercapai. Jadi semua itu sudah dibuat rumusannya di awal musim.
Sementara yang terakhir atau ketiga, match fixing. Bagian ini terkait erat dengan bandar judi. Bahkan bandar judu memainkan peran paling penting dan sangat signifikan karena disertai dengan iming-iming jumlah uang tertentu.
Ironisnya, tiga hal ini menjadi penyakit kronis kompetisi sepakbola nasional dan harus ditangani dan diperangi secara serius sampai ke akar-akarnya. PSSI, kata dia, tidak cukup menutup kasus dipermukaan. Ketiga kasus itu harus dibabat habis sampai ke akar-akarnya.
“Maklum penyakit inilah yang membuat sepakbola kita lumpuh. Suporter diberikan fatamorgana tontonan sepakbola. Membeli tiket, tour away mendampingi tim bahkan sampai ada yang meninggal. Tapi sejatinya hasil pertandingan sudah diketahui sebelum wasit meniup pluit panjang,” ungkap pengamat sepakbola nasional, Akmal Marhali. (S-SP/BS/jr)