Jakarta, 7/3/19 (SOLUSSInews) – Sekitar sebulan setengah lagi Pemilu 2019 berlangsung. Dan setoap saat terjadi perubahan tinhkat elektabilitas yerhadap partai-partai pesertanua.
Survei terbaru Center for Political Communication Studies (CPCS) menunjukkan, elektabilitas PDI-P dan Gerindra masih mengungguli semua partai politik (Parpol).
Meskipun turun dari survei Januari, PDI-P tetap meraih elektabilitas tertinggi sebesar 23,0 persen. Sedangkan Gerindra menjadi 16,1 persen.
“Elektabilitas Parpol lain cenderung stabil, hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengalami kenaikan signifikan, mencapai 4,2 persen,” ungkap Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta dalam press release di Jakarta, Selasa (5/3/19), seperti dilansir JPNN.
Lewati parliamentary treshold
Total ada tujuh partai yang sudah melewati parliamentary treshold empat persen. PSI merupakan partai terakhir di tujuh besar itu.
PSI berhasil melampaui elektabilitas partai-partai lama seperti PKS, PAN, PPP dan Hanura, serta sesama pendatang baru Perindo.
Disebut Okta, naiknya elektabilitas PSI didukung oleh sosialisasi yang cukup efektif dilakukan selama musim kampanye. Sebagai parpol baru dengan segmen sasaran generasi milenial, PSI paling banyak menggunakan media sosial sebagai sarana sosialisasi, disusul Gerindra.
Penggunaan media massa tradisional lebih banyak dilakukan oleh parpol yang dipimpin oleh pengusaha media, seperti Nasdem (38,9 persen) dan Perindo (37,0 persen).
“Parpol besar lain turut efektif menggunakan media massa berkat pemberitaan yang cukup masif, khususnya terkait dengan Pilpres,” jelas Okta.
Selain itu, pemasangan alat peraga kampanye (APK) tidak terhindarkan menjadi cara paling efektif dilakukan oleh parpol lama.
“Demokrat tercatat paling banyak menggunakan APK sebagai medium sosialisasi,” papar Okta.
Hal serupa dilakukan oleh hampir semua parpol besar dan menengah. Pemasangan APK juga rata-rata dikombinasikan dengan sosialisasi oleh kader Parpol atau relawan dan pertemuan tatap muka yang melibatkan para caleg.
PSI cukup efektif
Disebut Okta lagi, PSI cukup efektif menggunakan beragam medium sosialisasi selain media sosial. Meskipun tidak memiliki media massa dan bukan Parpol utama pengusung Capres-Cawapres, PSI kerap tampil dengan isu-isu kontroversial. “Yang tidak kalah menarik adalah kerja-kerja sosialisasi oleh relawan dan pertemuan tatap muka,” ungkap Okta.
Meskipun relatif kecil, tetapi metode kampanye yang dilakukan dengan canvassing door-to-door dinilai efektif untuk memengaruhi pemilih. Demikian pula dengan turun langsungnya Caleg-caleg PSI menyapa pemilih di basis daerah pemilihan (dapil). “Pemilih PSI menilai medium sosialiasi menentukan pilihan sebesar 24,0 persen dan tatap muka 16,0 persen,” kata Okta.
Faktor lain yang dinilai Okta cukup berpengaruh ialah pertimbangan memilih partai politik. Sosok figur atau tokoh partai masih menjadi acuan tertinggi, disusul rekam jejak partai, program atau gagasan yang ditawarkan, kedekatan personal dengan kader atau pengurus, dan faktor lainnya.
“Kemunculan Grace Natalie sebagai ketua umum PSI, dengan pidato dan isu-isu yang memancing perdebatan publik, tidak kalah dengan tokoh-tokoh parpol besar,” ujar Okta.
PSI juga dinilai bersih, khususnya dalam hal tidak adanya caleg yang terindikasi korupsi. Selain itu, PSI dikenal dengan gagasan toleransi serta mengusung isu perempuan dan anak muda.
KPU menetapkan jadwal resmi kampanye terbuka melalui iklan dan pertemuan terbuka mulai pertengahan Maret. Okta menyarankan agar parpol-parpol efektif menggunakan kesempatan tersebut jelang Pileg sebulan lagi.
“Penyelenggara pemilu pun diharapkan dapat memberikan ruang yang sama kepada semua parpol dalam hal iklan di media massa,” demikian Okta.
Survei CPCS dilakukan pada 1-10 Februari 2019, dengan jumlah responden 1200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Metode survei dilakukan secara acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen. (S-JPNN/jr)