Jakarta, 28/3/19 (SOLUSSInews) – Saatnya untuk lebih beraksi lagi dalam membela kepentingan semua ‘stakholders’ produksi Indonesia.
Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan pun menyatakan, siap berjuang mati-matian terkait keputusan Uni Eropa (UE) melarang minyak sawit sebagai bahan bakar nabati (BBN/biofuel), karena hal tersebut menyangkut nasib 17 juta petani sawit.
“Ingat, kita bukan orang bodoh. Kita akan cari cara, jalan keluarnya. Karena masalah ini menyangkut masa depan puluhan juta petani sawit, kita akan berjuang mati-matian. Saya ini bekas tentara,” tegas Luhut Panjaitan saat memberikan keynote speech dalam seminar Pengembangan Industri Sawit untuk Kemandirian Energi di Jakarta, Rabu (27/3/19).
Hadir sebagai pembicara di seminar yang digelar PWI tersebut, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Dono Boestami, Staf Ahli Menlu Peter F Gontha, Bendahara PWI yang juga Pemimpin Umum Warta Ekonomi Muhamad Ihsan, dan Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo.
Dilansir Investor Daily dan BeritaSatu.com, seminar yang dibuka oleh Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari ini dipandu moderator Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi Gapki.
Sikap tegas Jokowi
Luhut menegaskan, Pemerintahan Joko Widodo mengambil sikap tegas terhadap UE, sebagai bagian untuk melindungi perekonomian nasional, khususnya kepentingan petani sawit.
Di era Jokowi, industri sawit yang dikombinasikan dengan dana desa terbukti berhasil mengurangi angka kemiskinan di pedesaan.
Capaian tersebut sejalan dengan 17 poin dalam Sustainabel Development Goals (SDGs) yang diputuskan PBB. “Palm oil sudah memberikan kesejahteraan kepada 20 juta orang rakyat Indonesia. Angka kemiskinan turun dari 10,12 pesen pada 2017 menjadi sembilan persen pada 2018. Karena didukung program dana desa dan kehadiran perkebunan sawit,” papar Luhut.
Industri sawit, jelas Menko Kemaritiman, menciptakan lapangan kerja di semua tempat seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Siap pasang badan
Oleh karena itu, Luhut menegaskan, pemerintah siap pasang badan demi melindungi petani sawit. “Itu sebabnya dibuat program peremajaan tanaman bagi petani. Tujuannya agar produktivitas petani naik menjadi tujuh sampai delapan ton per hektar. Diberikan pupuk dan benih yang benar. Sekarang untuk panen tidak perlu tunggu lima tahun, bisa dua tahun menghasilkan,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, meminta swasembada pangan dan energi, perlu menjadi perhatian pemerintah. Karena semua negara sangat melindungi kepentingan pangan dan energinya.
“Hingga sekarang penggunaan lahan untuk perkebunan sawit seluas 17 juta hektar di seluruh dunia. Jumlah ini masih lebih rendah dari total luas lahan untuk minyak nabati mencapai 278 juta hektar,” katanya.
Rekomendasi UE
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Luar Negeri (Menlu), Peter F Gontha mengatakan, Parlemen Uni Eropa (UE) akan memutuskan rekomendasi komisi UE tentang pelarangan minyak sawit sebagai BBN atau biofuel pada Kamis (28/3/19) ini.
Peter berharap rekomendasi UE melegakan Indonesia. “Ada tiga kemungkinan keputusan parlemen UE. Bisa menolak, menerima atau tidak berpendapat. Kita harapkan yang terakhir. Namun itu berat,” papar Peter.
Peter menduga, keputusan parlemen UE akan condong merugikan pemerintah Indonesia. Pasalnya, menurut Anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini, mayoritas anggota parlemen UE getol memerangi minyak sawit.
“Enam ratus dari tujuh ratus anggota parlemen UE againts terhadap sawit. Itu masalahnya,” jelas profesional dan pebisnis yang juga musisi jazz ini, yang juga didaulat sebagai Dewan Penasihat DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP) serta “Sam Ratulangi Institute”.
‘All out’ seperti Malaysia
Lebih jauh Peter menganalisa jika parlemen UE menyetujui pelarangan minyak sawit untuk biofuel, hal ini merupakan strategi untuk menyeimbangkan neraca perdagangan UE yang acapkali defisit dengan Indonesia.
“Nilai ekspor Indonesia ke UE sepanjang 2018 mencapai US$17,1 miliar, sementara impor sebesar US$14,1 miliar. Artinya, UE mengalami defisit sekitar US$3 miliar,” jelasnya.
Oleh karena itu, Peter –yang mengaku baru mendalami masalah sawit dalam satu setengah bulan ini– menyarankan agar pemerintah dan pelaku sawit di Indonesia lebih gencar melakukan diplomasi atau pendekatan sawit terhadap parlemen UE.
“Tirulah Malaysia yang all out dalam membela kepentingan industri sawit. Malaysia sampai punya kantor khusus. Sesekali kita perlu engagement parlemen UE. Ajak mereka main golf atau minum wine. Agar mereka itu tercerahkan,” ujar mantan Dubes RI untuk Polandia itu.
Sementara, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), Dono Boestami, meyakini tren kebutuhan minyak sawit akan melonjak seiring penggunaan bahan bakar nabati dunia, termasuk di Uni Eropa.
Saat ini, kata Dono, BBN mulai dicoba di hampir seluruh moda transportasi, termasuk pesawat terbang. “Untuk rute-rute domestik, Lufthansa, maskapai penerbangan Jerman sudah menggunakan BBN. Meski bukan dari minyak sawit. Ke depan, saya optimistis minyak sawit akan tetap diminati,” ungkap Dono Boestami. (S-ID/BS/jr)