Jakarta, 9/7/19 (SOLUSSInews) – Fakta membuktikan, sekolah tinggi tidak menjamin kemudahan mendapatkan pekerjaan. Malahan, penganggur terdidik justru meningkat.
Sebaliknya, lulusan sekolah rendah malah cepat mendapatkan pekerjaan. Lapangan pekerjaan untuk kaum terdidik meluas, tetapi banyak yang tak mampu memenuhi persyaratan kerja.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diumumkan Senin (5/5/19) lalu menunjukkan, pada Februari 2019, penganggur terbuka di Indonesia mencapai 6,8 juta atau 5,01 persen dari angkatan kerja yang mencapai 136,2 juta. Jawa Barat merupakan provinsi dengan angka pengangguran tertinggi, yakni 7,7 persen. Sedang Bali merupakan provinsi dengan angka pengangguran terendah, 1,2 persen.
Dalam analisis BeritaSatu.com, dilihat dari tingkat pendidikan, pengangguran paling tinggi ialah tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK), 8,63 persen, turun tipis dari posisi 8,92 persen pada Februari 2018. Pengangguran terbuka tertinggi juga terjadi di kalangan tamatan diploma I, II, dan III yang mencapai 6,89 persen, lalu SMA 6,78 persen. Yang memegang ijazah universitas, minimal S-1, ada 6,24 persen pengangguran terbuka. Pengangguran dengan pendidikan maksimal SD hanya 2,65 persen. Itu karena mereka tidak memilih-milih pekerjaan. Pekerjaan apa pun mereka tidak jalani.
Kondisi ini cukup memprihatinkan. SMK didesain untuk mencegah pengangguran. SMK menjadi link atau jembatan antara pendidikan formal dan perusahaan agar tamatannya bisa langsung bekerja. Kurikulum dan mata pelajaran di SMK harus match atau sesuai dengan kebutuhan dunia usaha.
Namun, dalam kenyataan, SMK justru menghasilkan paling banyak penganggur terbuka. Itu berarti link and match tidak jalan. Alumni SMK tidak mampu memenuhi kebutuhan dunia usaha. SMK gagal menjadi link ke dunia usaha akibat kualitas pendidikannya yang tidak match dengan dunia usaha.
Oleh karena itu, bisa dimengerti apabila laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya lima persen dalam lima tahun terakhir. Penduduk yang bekerja didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Sekitar 40,51 persen pekerja Indonesia hanya mengenyam pendidikan SD dan 17,75 persen berpendidikan SMP. Jika digabung, 59 persen tenaga kerja Indonesia mereka yang berpendidikan maksimal SMP.
Sektor industri
Isu deindustrialisasi terkonfirmasi pada penyerapan tenaga kerja di sektor industri yang memperlihatkan penurunan. Jika pada Februari 2014, sektor industri menyerap 15,39 persen tenaga kerja. Lalu pada Februari 2019, lima tahun kemudian, penyerapan tenaga kerja di sektor ini menurun ke 14 persen.
Penurunan signifikan terjadi di sektor pertanian. Pada Februari 2014, pertanian menyerap 40,83 persen tenaga kerja. Sedang pada Februari 2019, sektor ini hanya menyerap 29,46 persen tenaga kerja. Ke mana sekitar 10 persen tenaga kerja berpindah? Idealnya ke sektor industri, karena Indonesia sedang dalam pembangunan industri. Namun, daya serap sektor industri justru menunjukkan penurunan.
Lantas, ke mana penyerapan tenaga kerja? Data BPS menunjukkan, tenaga kerja beralih ke sektor aneka jasa, mulai dari jasa konstruksi, transportasi keuangan, hingga kesehatan dan pendidikan. Di negara maju, tenaga kerja terbesar terserap di sektor jasa. Namun, buat negara berkembang seperti Indonesia yang tengah menikmati bonus demografi, tenaga kerja mestinya terserap di sektor industri.
Dana desa
Pengangguran terbesar terjadi di kota, sedang pengangguran di desa menunjukkan penurunan. Kondisi ini menunjukkan kemajuan di perdesaan. Masuknya dana desa Rp1 miliar per desa memberikan kontribusi signifikan pada pembukaan lapangan pekerjaan.
Pengangguran di desa pada Februari 2019 sebesar 3,45 persen, turun dari 3,72 persen tahun 2018, dan empat persen tahun 2017. Sedang pengangguran di perkotaan pada Februari 2019 sebesar 6,3 persen hanya turun 0,04 persen dari tahun sebelumnya.
Dari 129,36 juta penduduk yang bekerja per Februari 2019, sebesar 39,13 persen merupakan buruh, karyawan, dan pegawai, 19,17 persen berusaha sendiri, 16,19 persen berusaha dibantu buruh tidak tetap, 13,73 persen pekerja keluarga, yang tak dibantu.
Mereka yang bekerja di sektor formal per Februari 2019 sebanyak 55,28 juta atau 42,73 persen, sedang pekerja informal 74 juta atau 57,27 persen di sektor informal. Pekerja formal pada Februari 2016 sebanyak 50,33 juta atau 41,72 persen dari angkatan kerja. (S-BS/jr)