Jakarta, 21/7/19 (SOLUSSInews) – Penggunaan aplikasi OVO sebagai alat pembayaran resmi di fasilitas umum yang dikelola afiliasinya yang bernaung di bawah Lippo Group agar jangan sebagai bentuk pemaksaan sehingga melanggar hak-hak konsumen.
Demikian pernilaian Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI). Mereka juga menilai, hal tersebut dapat merusak persaingan pasar yang sehat. Sebelumnya, telah ada sorotan dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) tentangbhal ini.
“Persoalan payment gateway yang mengharuskan parkir di satu tempat tertentu, seperti di pusat perbelanjaan dengan menggunakan aplikasi (pembayaran) terafiliasi seperti yang diduga dilakukan OVO dan Lippo, bisa merupakan wujud monopoli,” ujar Wakil Ketua BPKN RI, Rolas Budiman Sitinjak dalam keterangan pers, Sabtu (20/7/19) kemarin.
Untuk menertibkan praktik-praktik yang mengancam persaingan usaha yang sehat tersebut, Rolas mengimbau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera turun tangan.
Disebutnya, selain Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), OJK memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar.
“Karena ini melibatkan Fintech,” tegasnya.
Kebijakan pemilik mal
Sementara itu, aat ditanya terkait metode pembayaran yang dinilai merupakan tindakan pelanggaran karena memaksa konsumen menggunakan aplikasi pembayaran digital tunggal, Head of PR OVO, Sinta Setyaningsih, mengungkapkan, hal tersebut merupakan kewenangan pengelola layanan parkir mal. edangkan OVO hanyalah penyedia layanan pembayaran.
“Terkait dengan metode pembayaran untuk lahan parkir, kewenangan menentukan metode pembayaran merupakan ranah pengelola layanan parkir,” tandasnya.
Ia menuturkan, OVO menawarkan proses pembayaran yang lebih mudah dan simple. “Kelebihannya sih sudah pasti petugas parkirnya tidak harus repot cari uang kembalian,” kata Sinta kepada Media Indonesia, Minggu (7/7/19).
Sikap Komisioner KPU
Di kesempatan berbeda, KPPU melihat, ada indikasi praktik bisnis kurang sehat dilakukan platform pembayaran yang juga terafiliasi dengan Lippo Group tersebut.
“Penelitian oleh KPPU dilakukan di semua tempat parkir perbelanjaan,” ujar komisioner sekaligus juru bicara KPPU, Guntur S Saragih.
Oleh sebab itu, alasan pembayaran merupakan bagian dari ekosistem platform digital. menurut Guntur, tidak bisa dibenarkan.
Ia mengingatkan konsumen harus memiliki ruang untuk memilih penyedia jasa. Karena pusat perbelanjaan merupakan tempat yang terbuka untuk umum dan bukan tempat hanya boleh didatangi pihak terbatas.
Bukan hanya itu, sekali pun Lippo dan OVO terafiliasi, memberikan kewenangan kepada OVO saja untuk mengelola metode pembayaran di lahan parkir pusat perbelanjaan milik Lippo juga seharusnya tidak diperbolehkan.
Pasalnya, hal itu menutup peluang terhadap pelaku lain yang memiliki layanan dan kemampuan seperti OVO.
KPPU, saat ini, masih melakukan penelitian lebih lanjut, mulai dari latar belakang sampai praktik yang terjadi melibatkan OVO di pusat perbelanjaan milik Lippo.
Hal senada diungkapkan Pengamat Transportasi dan Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Yayat Supriatna.
Dia berkesimpulan, praktik monopoli dalam metode pembayaran pada jaringan perusahaan terafiliasi itu, membuka tabir bahaya monopoli di masa mendatang.
“Dimulai dari aksi jor-joran promo di layanan transportasi yang terafiliasi dengan OVO, itu hanya permukaan. Di balik itu, terjadi gurita payment gateway yang disokong modal besar, seperti OVO. Memaksa seluruh konsumen menggunakan cara pembayaran tunggal, lama kelamaan pesaing mati, konsumen pun semakin ketergantungan,” ungkap Yayat Supriatna, seperti diberitakan Media Indonesia. (S-MI/jr)