Jakarta, 17/9/19 (SOLUSSInews) – Ternyata, kerasnya penolakan terhadap revisi UU KPK yang tergambar lewat banyak pemberitaan media belakangan ini, tidak mencerminkan realita sebenarnya.
Sebab, survei Litbang Kompas menunjukkan, mayoritas publik ternyata mendukung revisi UU KPK.
Dikutip dari Harian Kompas, Senin (16/9/19) kemarin, survei menyatakan 44,9 persen masyarakat mendukung revisi UU KPK, sementara yang tidak setuju 39,9 persen. Selanjutnya, yang menjawab tidak tahu 15,2 persen.
Tidak hanya soal persetujuan umum, mayoritas responden juga menyatakan setuju terhadap poin-poin revisi UU KPK yang selama ini menjadi polemik.
Misalnya, 64,7 persen mayoritas publik setuju pembentukan Dewan Pengawas KPK, 55,5 persen perlu ada Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) di KPK.
Selanjutnya, 48,5 persen masyarakat setuju proses penyadapan KPK dilakukan tanpa izin dan 62,1 persen setuju KPK bisa merekrut penyidik sendiri, tidak harus dari kepolisian.
Gambarkan keprihatinan masyarakat
Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil mengatakan, survei tersebut menggambarkan keprihatinan masyarakat dengan situasi dan kondisi pemberantasan korupsi selama ini. Salah satunya ialah terkait regulasi tentang KPK.
“Singkat kata, itu adalah contoh masyarakat yang memberikan kepada pemerintah dan DPR dalam rangka merevisi UU KPK,” kata Nasir di Jakarta, Senin (16/9/19) kemarin.
Politisi PKS ini menjelaskan, aspirasi mayoritas masyarakat Indonesia untuk merevisi UU KPK juga menunjukkan keinginan adanya ‘checks and balances’ di KPK, sebagaimana lembaga negara lain di negara demokrasi seperti Indonesia.
“Saya sebenarnya tidak setuju dengan istilah menguatkan atau melemahkan. Kita tidak ingin dalam dua ekstrem itu. Tapi kita ingin aturan perundang-undangan itu menjamin adanya checks and balances,” ujar Nasir.
Politikus asal Aceh ini juga menganggap wajar jika masih terjadi penolakan revisi UU KPK dari kalangan internal lembaga tersebut dan sejumlah LSM.
“Jadi kalau ada teman-teman LSM yang menolak, itu hak mereka untuk menolak, cuma mungkin saran saya dikritisi saja pasal-pasal yang direvisi oleh DPR dan pemerintah,” kata Nasir.
Dia melanjutkan, kalau dalam pandangan LSM pasal-pasal yang direvisi tidak sejalan dengan konstitusi, mereka bisa melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Itu lebih elegan. Apapun ceritanya, DPR punya kewenangan membentuk undang-undang,” demikian Nasir.
Untuk diketahui, survei Litbang Kompas tersebut dilaksanakan pada 11-12 September 2019. Sebanyak 546 responden diambil secara acak bertingkat di 17 kota besar di Indonesia. Menggunakan metode ini pada tingkat kepercayaan 95 persen dan nirpencuplikan +/- 4,2 persen.
Pemerintah berterimakash
Sementara itu, pada hari Selasa (17/9/19) ini, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly atas nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada DPR RI dan semua pihak yang telah bekerja keras hingga disahkannya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) menjadi UU. Pemerintah sepakat adanya pengesahan RUU KPK tersebut.
“Kami mewakili presiden menyampaikan ucapan terima kasih kepada pimpinan dan anggota badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, atas dedikasi dan kerja keras sehingga dapat menyelesaikan pelaksanaan revisi undang-undang KPK ini,” ujar Yasonna dalam penyampaian pendapat pemerintah atas pengesahan Revisi UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) di ruang paripurna gedung Nusantara II kompleks parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (17/9/19) siang.
Yasonna pun berdoa atas agar Tuhan Yang Maha Esa senantiasisa memberikan rahmat-Nya kepada semua pihak yang membantu selesainya revisi UU KPK tersebut.
Dengan revisi UU tersebut, kata Yasonna, KPK kini merupakan bagian dari cabang dari kekuasaan pemerintahan.
KPK termasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah state absoluty agency.
“Ini dimaksudkan agar KPK masuk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi jelas yakni bagian pelaksana kekuasaan pemerintahan,” kata politisi PDI Perjuangan tersebut penuh semangat.
Revisi UU KPK awalnya menjadi usul inisiatif politisi Senayan. Revisi UU KPK hanya dibahas selama 13 hari. Demikian Suara Pembaruan memberitakan. (S-SP/BS/jr)