Jakarta, 18/9/19 (SOLUSSInews) – Kini semakin banyak klub sepak bola Eropa diambil alih oleh pengusaha asal tanah air. Terkini dilaporkan, orang terkaya Indonesia diam-diam mengambil alih klub kecil di Liga Italia.
Klub tersebut adalah Como 1907. Pencinta sepakbola Indonesia mungkin tak banyak yang tahu. Itu bisa dimaklumi lantaran Como 1907 saat ini berlaga di Seri C, level ketiga dalam strata sepakbola Italia.
“Como kini berada di tangan asing, orang terkaya Indonesia menjadi pemilik saham mayoritas,” demikian tajuk berita Corrieredicomo pada 5 April 2019 lalu.
Sent Entertainment Ltd dikendalikan oleh duo pengusaha asal Indonesia yakni Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono. Keduanya adalah pemilik perusahaan rokok kretek Djarum dan tercatat sebagai orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan mencapai Rp461 triliun.
Como dibeli Sent Entertainment Ltd. saat dalam keadaan compang-camping. Manajemen klub sangat bermasalah dan memiliki banyak utang dengan berbagai pihak.
“Kita beli gak sampai Rp5 miliar. Istilahnya nebus di pegadaian,” kata Mirwan Suwarso, perwakilan Mola TV yang merupakan salah satu usaha milik Djarum.
Dalam tayangan singkat film tersebut, kondisi Como pantas dibilang memprihatinkan. Stadion Giuseppe Sinigaglia, yang berkapasitas 13.602 tempat duduk, memiliki kualitas lapangan yang buruk untuk sebuah klub di Italia. Terlihat juga ada bagian atap yang terkelupas catnya.
“1 Juli kemarin enggak punya pemain sama sekali. Aset yang gak keurus, kita poles lagi,” lanjut Mirwan.
Profil Como 1907
Klub kasta ketiga Italia bernama Como 1907 yang dibeli perusahaan Indonesia, kini sudah berusia 112 tahun.
Orang terkaya Indonesia membeli klub Italia, Como 1907. (Foto: Istimewa)
Como 1907 didirikan pada tahun 1907 dan berasal dari kota Como yang berada di utara Italia. Klub ini sekarang bermain di Serie C, seusai promosi dari Serie D pada tahun 2019.
Klub sepakbola yang memiliki warna kostum biru tersebut bermarkas di Stadion Giuseppe Sinigaglia. Total kandang Como ini dapat menampung sekitar 13 ribu penonton.
Sepanjang sejarah, Como beberapa kali pernah bermain di kancah Serie A, meskipun tidak pernah bertahan lama. Klub berjuluk Lariani ini pertama kali bertanding di kasta tertinggi Italia pada 1949.
Masa kejayaan Como berlangsung pada periode 1984-1989, kala mereka mampu bertahan di Serie A selama lima musim. Pencapaian tertingginya adalah menduduki peringkat kesembilan di tahun 1986.
Di awal abad ke-21, Como sempat dinyatakan bangkrut pada tahun 2004 dan terlempar ke Serie D. Klub ini kembali dinyatakan gulung tikar pada musim 2016-2017.
Como sempat dibeli oleh istri Michael Essien, Akosua Puni Essien, pada perlelangan tahun 2017. Namun klub tersebut gagal memenuhi syarat untuk masuk kembali ke liga profesional Italia.
Pada 4 April 2019, SENT Entertainment LTD mengakuisisi Como dan berhasil masuk ke Serie D, serta promosi ke Serie C setahun berikutnya. Perusahaan media dan hiburan yang berbasis di London, Inggris, ini berafiliasi dengan Grup Djarum yang dimiliki oleh orang terkaya Indonesia, Michael Bambang dan Robert Budi Hartono.
Santini beli Tranmere Rovers
Dari Tranmere, Inggris, dilaporkan, ada lagi pengusaha Indonesia terjun di sepakbola Eropa. Kali ini Santini Group yang dimiliki Keluarga Wanandi membeli saham klub Inggris, Tranmere Rovers.
Tranmere yang berkiprah di League One, dua tingkat di bawah Premier League, mengumumkan pembelian saham klub oleh Santini Group, Rabu (4/9/19) dini hari WIB. Grup tersebut dimiliki oleh tiga bersaudara asal Indonesia, Wandi, Lukito, dan Paulus Wanandi.
Santini Group adalah induk usaha asal Indonesia yang memiliki jenis usaha di bidang peralatan otomotif, infrastruktur, sumber daya alam, pengembangan properti, dan jasa. Perusahaan ini dibentuk oleh Sofjan Wanandi pada tahun 1994.
“Saya dengan senang hati mengumumkan jika klub sudah mencapai kesepakatan dengan investor dari luar, Santini Group. Dengan demikian, mereka akan memiliki saham minoritas di Tranmere Rovers,” ujar Mark Palios di situs resmi klub.
Pendanaan awal dari Santini Group akan digunakan untuk beberapa proyek yang dijalankan oleh Tranmere. Mulai dari penguatan sinyal Wi-fi di stadion, serta pengembangan kawasan akademi klub.
Lukito Wanandi (kiri) dan Wandi Wanandi (kanan) mengapit Chairman Tranmer Rovers (Foto Dok Tranmere Rovers)
|
Tidak hanya itu, Santini Group juga akan membantu Tranmere untuk mengembangkan sayapnya di pasar internasional, termasuk di Asia. Hal ini untuk menambah nilai klub tersebut secara global.
Untuk urusan bisnis global tersebut, Tranmere telah menunjuk salah satu pengusaha yang merupakan rekanan Wandi bernama Simon Nainggolan. Simon disebut jadi otak di balik terjalinnya kerjasama antara Tranmere dan Santini Group.
“Kami juga ingin berterima kasih kepada Simon Nainggolan yang sudah mengenalkan kami semua. Simon akan sering berada di Prenton Park karena dia akan jadi penghubung klub dengan jaringan bisnis internasional,” papar Palios.
Pendanaan kapital oleh grup asal Indonesia ini diharapkan bisa membuat keadaan keuangan klub yang bermarkas di stadion Prenton Park tersebut menjadi lebih stabil.
Sekadar informasi, Tranmere Rovers merupakan klub sepakbola yang berbasis di Merseyside. Saat ini, klub yang sudah berdiri sejak tahun 1884 itu bermain di divisi League One atau kasta ketiga kompetisi liga di Inggris.
Sebelum Wanandi bersaudara, Erick Thohir sudah lebih dulu memiliki saham di klub League One Oxford United.
Pengusaha Indonesia kembali berinventasi dengan membeli klub di luar negeri. Terbaru, Como 1907 klub asal Italia resmi diakusisi oleh Grup Djarum melalui SENT Entertainment LTD.
Como menambah daftar klub luar negeri yang pernah dimiliki oleh pengusaha Indonesia. Sebelum Lariani, berikut ini adalah klub yang pernah diakusisi oleh para pengusaha tanah air.
Selain Como, Tranmere Rovers juga diakusisi oleh pengusaha Indonesia di tahun ini. Klub kasta ketiga Liga Inggris ini sahamnya dibeli oleh Santini Group.
Santini Group didirikan oleh Indonesia yaitu Sofjan Wanandi pada tahun 1994. Kini tiga Wandi, Lukito, dan Paulus Wanandi memiliki perusahaan ini.
Lechia Gdanks (Polandia)
Klub dimana Egy Maulana Vikri bermain ini sahamnya 10 persen dimiliki oleh PT Veritra Sentosa Internasional (Paytren). Paytren merupakan perusahaan milik Yusuf Mansur.
Ustad yang namanya cukup terkenal di Indonesia tersebut membeli saham Lechia pada 2018 yang lalu. Ia diyakini harus menggelontorkan sebesar 2,5 juta Euro atau sekitar 41,2 miliar untuk memiliki 10 persen saham tim kasta tertinggi Liga Polandia tersebut.
Leicester City (Inggris)
Juara Liga Inggris musim 2015/2016 ini sahamnya pernah 20 persen dimiliki oleh orang Indonesia yaitu Imam Arif. Ia memiliki saham The Foxes pada 2011.
Setahun kemudian, Imam memilih melepas sahamnya tersebut ke perusahaan pemilik saham mayoritas Liecester, King Power. Perusahaan yang asal Thailand tersebut 100 persen memiliki saham Leicester.
DC United (Amerika Serikat)
DC United sempat diakusisi oleh Erik Thohir pada 2012 lalu. Ia bersama rekannya Jason Levien mememilik saham klub Major League Soccer (MLS) ini sebesar 78 persen.
Enam tahun berselang tepatnya pada Agustus 2018, Thohir kemudian melepas sahamnya di DC United. Saham milik Thohir tersebut kini sepenuhnya dikuasai oleh Levien. Ia saat ini menjadi presiden DC United bersama Stephen Kaplan.
Inter Milan (Italia)
Selain DC United, Erick Thohir juga sempat menguasai saham Inter Milan. Ia mengakusisi 70 persen saham Inter Milan yang sebelumnya dimiliki Massimo Moratti.
Namun serupa dengan saat di DC United, Thohir kemudian juga memutuskan kembali melepas kepemilikan sahamnya. Ia hanya tiga tahun memegang pucuk tertinggi kekuasaan di Inter.
Thohir menjual sahamnya ke Suning Grup sebesar 39 persen sehingga ia hanya memiliki 31 persen Saham Inter. Pengaruh Thohir untuk La Beneamata sepenuhnya hilang usai ia memutuskan menjual sisa sahamnya di Inter kepada perusahaan asal Hongkong, Lion Rock pada Januari 2019.
CS Vise (Belgia)
Saham Vise pernah diakusisi oleh Bakrie Group pada 2011 lalu. Pengaruh dari kepemimpinan Bakrir Group membuat beberapa pemain Indonesia sempat bermain di tim Liga Belgia ini.
Nama-nama seperti Alfin Tuasalamony, Syamsir Alam, hingga Yandi Sofyan sempat mentas disana. Bakrie Group kemudian memutuskan melepas saham mereka di Vise tiga tahun berselang usai berkuasa. Ia menjual saham mereka ke investor loka.
Brisbane Roar (Australia)
Sebelum Vise, Bakrie Group terlebih dahulu mengakusisi saham Brisbane Roar. Mereka pertama kali mengakusisi Brisbane Roar saham Brisbane Roar pada 2011 sebesar 70 persen.
Grup ini kemudian membeli 30 saham sisanya sehingga mereka sepenuhnya menguasai tim asal Australia ini. Sampai saat ini Bakrie Group masih memiliki saham mayoritas Brisbane.
Jabatan presiden klub yang berdiri 62 tahun yang lalu tersebut kini dipegang oleh Rahim Soekasah. Demikian Detik.com. (S-DC/jr)