Jakarta, 10/12/19 (SOLUSSInews) – Mencari solusi atas defisit BPJS Kesehatan ternyata cuma mengarah pada satu alternatif: menaikkan iuran.
Ya, Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75/2019 tertanggal 24 Oktober 2019 resmi menaikkan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Kenaikan iuran itu diyakini akan menjadi salah satu solusi bagi defisit anggaran yang selama ini dialami BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN-KIS.
Disebutkan, kenaikan iuran itu juga sudah sesuai dengan perhitungan aktuaria dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Masyarakat pun diminta memahami keputusan itu mengingat manfaat BPJS Kesehatan sangat besar bagi peningkatan kesehatan, terutama bagi rakyat yang tidak mampu.
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko meminta masyarakat untuk memahami keputusasan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan peserta mandiri. Sebab, ujarnya, subsidi pemerintah untuk BPJS Kesehatan selama ini sangat tinggi.
“Harus terbangun kesadaran bersama. Kita harus memahami bahwa subsidi pemerintah untuk BPJS Kesehatan itu sangat tinggi. Kita perlu membangun gotong royong, bersama-sama pemerintah ikut membantu agar BPJS Kesehatan bisa berjalan,” kata Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (30/10/19) lalu.
Bisa capai surplus?
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah sesuai dengan perhitungan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Peningkatan iuran juga mempertimbangkan nilai premi dan manfaat yang didapat masyarakat.
“Ada perhitungan yang dilakukan DJSN. Saya rasa, semua diperhatikan lewat berbagai kanal, tetapi kemudian kebutuhannya ada, yaitu manfaat yang diberikan kepada masyarakat diberikan sekian, premi yang dikumpulkan nilainya sekian,” ujar Suahasil.
Dia juga yakin, kenaikan iuran akan menjadi salah satu solusi bagi persoalan defisit BPJS Kesehatan selama ini. Disebutnya, terdapat sejumlah dimensi yang menyebabkan defisit BPJS Kesehatan, mulai dari manajemen, data, hubungan fasilitas kesehatan, serta efisiensi.
“Berbagai dimensi itu harus diperbaiki meski dianggap belum cukup. Tetap perlu ada penyesuaian tarif,” kata Suahasil.
Selanjutnya, Aktuaris Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) periode 2014-2019, Angger Yuwono mengatakan, kenaikan iuran yang ditetapkan pemerintah melalui Perpres 75/2019 bisa menekan defisit hingga akhir 2021. Bahkan, menurutnya, BPJS Kesehatan bisa surplus di atas Rp 4 triliun, kecuali ada hal-hal yang muncul di luar proyeksi.
Iuran PBI naik Rp19.000
Seperti diketahui, dalam Perpres Nomor 75/2019 terdapat beberapa perubahan terkait dengan penyesuaian iuran.
Pertama, untuk kategori peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), iuran meningkat dari Rp23.000 menjadi Rp42.000 per orang/bulan. Jadi, kenaikannya sebesar Rp19.000.
Mengenai PBI yang ditanggung oleh pemerintah pusat, perubahan mulai berlaku 1 Agustus 2019. PBI yang didaftarkan dan ditanggung oleh pemerintah daerah (pemda) mendapat bantuan pendanaan dari pemerintah pusat sebesar Rp19.000 per orang/bulan untuk bulan pelayanan 1 Agustus sampai 31 Desember 2019.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja gabungan di Komisi IX DPR, Agustus lalu, mengatakan, iuran untuk PBI akan dibayarkan sekaligus lima bulan ke depan (Agustus sampai Desember) kepada BPJS Kesehatan. Jika ini direalisasikan, maka pemerintah pusat harus membayar untuk sekitar 134 juta peserta PBI, yang terdiri atas 96,8 juta peserta PBI APBN dan 37,3 juta PBI APBD. Total anggaran yang dikeluarkan pemerintah pusat untuk segmen ini sebesar Rp12,7 triliun.
Kedua, kategori peserta pekerja penerima upah (PPU). Perubahan yang diatur dalam Perpres 75/2019 mengenai segmen ini ialah batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan yaitu Rp12 juta, dari sebelumnya Rp8 juta. Komposisinya ialah lima persen dari gaji atau upah per bulan, di mana empat persen dibayar pemberi kerja dan satu persen oleh peserta.
Untuk peserta PPU pemerintah pusat, yaitu pejabat negara, pimpinan dan anggota DPR, PNS pusat, prajurit, dan anggota Polri, kenaikan mulai berlaku 1 Oktober 2019. Apabila pemerintah juga berencana membayarkan sekaligus untuk segmen ini, yang jumlahnya sekitar 4,2 juta orang. Sehingga, anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah pusat sebesar Rp1,3 triliun.
Mengenai peserta PPU tingkat daerah, seperti kepala dan wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota DPRD, PNS daerah, kepala desa, serta perangkat desa, penetapan batas upah ini baru mulai berlaku 1 Januari 2020. Demikian pula untuk PPU swasta, penyesuaian iuran mulai berlaku 1 Januari 2020.
Ketiga, iuran untuk kategori peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) naik dari sebelumnya. Kelas III menjadi Rp42.000, kelas II Rp110.000, dan kelas III Rp160.000. Penyesuaian iuran untuk segmen ini mulai berlaku 1 Januari 2020.
Pemerintah tanggung 73,63 persen
Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, pemerintah masih menjadi pembayar iuran terbesar. Pemerintah menanggung 73,63 persen dari total besaran penyesuaian iuran melalui peserta PBI APBN, penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah, pegawai pemerintah pusat/daerah, TNI, dan Polri.
Kontribusi pemerintah tersebut sangat membantu peserta mandiri, sehingga penyesuaian iuran sebesar yang seharusnya.
“Besaran iuran yang akan disesuaikan tidak besar apabila dibandingkan dengan besarnya manfaat yang diberikan program JKN-KIS ketika ada peserta yang sakit atau membutuhkan layanan kesehatan,” kata Iqbal.
Dikatakan, untuk buruh dan pemberi kerja, penyesuaian iuran hanya berdampak pada pekerja dengan upah di atas Rp8 juta sampai dengan Rp12 juta. Artinya, pekerja dengan upah di bawah nominal tersebut, tidak terkena dampak. Penyesuian iuran hanya menambah sebesar rata-rata Rp27.078 per bulan/buruh. Angka ini sudah termasuk untuk lima orang, yaitu pekerja, satu suami/istri, dan tiga anak.
“Artinya, beban buruh adalah Rp5.400 per jiwa per bulan. Ini sama sekali tidak menurunkan daya beli buruh, seperti yang dikabarkan,” kata Iqbal.
Skemanya harus didalami
Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene mengatakan, pihaknya akan segera melakukan pertemuan dengan pemerintah untuk membahas kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang menuai sedikit protes.
Disebutnya, DPR bertanya secara detil tentang alasan pemerintah menaikkan iuran tersebut.
“Kita perlu tahu, misalnya, apakah kenaikan ini karena nilai uangnya yang kurang atau karena penerapan di tingkat bawah ada yang salah. Maka, skemanya harus didalami dulu,” ujar Felly.
Dia tidak mau terburu-buru menuding kebijakan pemerintah itu sebagai hal yang salah tanpa melakukan pendalaman lebih dulu.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh mengatakan, DPR periode lalu sudah mengingatkan pemerintah untuk tidak terburu-buru menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Walau demikian, karena peraturan soal kenaikan itu sudah keluar, yang bisa dilakukan pihaknya ialah mengecek detil skema kenaikan itu.
“Jadi, akan kami lihat seperti apa kenaikannya dan apakah sudah bisa menanggulangi defisit selama ini. Kami juga akan melihat apakah ada perbaikan fasilitas dan pelayanan,” kata Nihayatul.
Sementara Koordinator Advokasi ‘BPJS Watch’, Timboel Siregar mengatakan, besarnya kenaikan iuran peserta mandiri kontraproduktif dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan BPJS Kesehatan. Disebutnya, kenaikan hingga dua kali lipat tidak sesuai hitungan aktuaria.
Dikatakan, seharusnya kenaikan untuk kelas 1 menjadi Rp120.000, kelas 2 Rp75.000, dan kelas 3 Rp42.000. Namun, melihat kondisi pendapatan masyarakat dengan kondisi ekonomi saat ini, sebaiknya kenaikan iuran tidak sebesar itu.
“Jadi, bukan berarti kenaikan iuran itu kita tolak. Kita mendorong agar kenaikan iuran untuk PBI, bukan peserta mandiri,” ujarnya.
Dia khawatir, dengan kenaikan yang besar itu akan muncul keengganan peserta mandiri untuk membayar iuran. Dia juga mengingatkan pentingnya peningkatan pelayanan seiring dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. “
Jangan sampai dengan kenaikan ini, peserta masih susah mencari kamar dan obat dibatasi. Jangan sampai semangat penyesuaian iuran tidak disertai dengan pelayanan yang meningkat,” demikian Timboel Siregar, seperti dilansir BeritaSatu.com. (Berita ini telah dimuat Suara Pembaruan edisi Kamis, 31 Oktober 2019). (S-SP/BS/jr)