Jakarta, 3/6/20 (SOLUSSInews.com) – Tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah saat ini ialah bagaimana menyiapkan program pemulihan yang tepat agar pertumbuhan ekonomi tidak minus. Kebijakan terkait pemulihan ekonomi juga harus dieksekusi secara cepat agar laju pertumbuhan ekonomi nasional tidak terkoreksi lebih dalam lagi.
“Kita tahu pada kuartal I-2020, ekonomi kita hanya mampu tumbuh 2,97 persen. Dan pada Kuartal II, Kuartal III, dan Kuartal IV, kita harus mampu menahan agar laju pertumbuhan ekonomi tidak merosot lebih dalam lagi. Tidak sampai minus,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memimpin rapat terbatas Kabinet Indonesia Maju melalui video conference di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (3/6/20).
Rapat yang dihadiri Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin membahas tentang penetapan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dan perubahan postur APBN Tahun 2020.
Presiden Jokowi berharap, melalui kebijakan ekonomi yang diterapkan dengan kecepatan tinggi, perekonomian nasional secara perlahan-lahan bisa rebound.
Ia juga secara khusus meminta agar semua skema program pemulihan ekonomi yang telah dirancang, seperti subsidi bunga untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), penempatan dana untuk bank-bank yang terdampak restrukturisasi, penjaminan kredit modal kerja, Permodalan Nasional Madani (PNM) untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan investasi pemerintah untuk modal kerja.
“Saya harapkan, saya minta, saya ingin pastikan ini segera operasional di lapangan. Segera dilaksanakan di lapangan,” kata Presiden Jokowi.
Skenario terburuk
Ekonomi Indonesia pada triwulan I 2020 hanya tumbuh 2,97 persen (y-on-y), jauh di bawah prediksi pemerintah yang sebelumnya memperkirakan masih bisa di kisaran empat persen. Menyikapi hal tersebut, pemerintah melihat kemungkinan masuk ke skenario terburuk bisa saja terjadi, di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan minus 0,4 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2020 yang hanya 2,97 persen utamanya dipicu oleh anjloknya konsumsi rumah tangga. Padahal kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai lebih dari 57 persen.
“Konsumsinya turun sangat besar. Kalau biasanya tumbuh di atas lima persen, pada triwulan I 2020 hanya tumbuh 2,84 persen,” kata Sri Mulyani saat Rapat Kerja virtual dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (6/5/20) lalu.
Kondisi inilah yang diwaspadai oleh pemerintah, mengingat pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam upaya memutus penyebaran Covid-19 sebetulnya baru dimulai pada Maret 2020 atau akhir triwulan I 2020. Sehingga kemungkinan besar konsumsi rumah tangga akan semakin anjlok seiring pemberlakuan PSBB yang semakin meluas pada triwulan II 2020.
“Pada triwulan II, konsumsinya akan drop lebih besar lagi. Padahal GDP Indonesia itu 57 persen adalah konsumsi atau sekitar Rp9.000 triliun. Kontribusi Jakarta dan Pulau Jawa juga hampir 55 persen. Jadi kalau sekarang di Jakarta dan Pulau Jawa melakukan PSBB, sudah pasti konsumsinya tidak akan tumbuh,” papar Sri Mulyani.
Dalam menetapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi, Menkeu mengatakan saat ini ada dua skenario yang dilihat. Untuk skenario berat, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan sebesar 2,3 persen, sementara skenario yang lebih berat bisa minus 0,4 persen. Skenario tersebut dilihat berdasarkan lamanya penyebaran Covid-19 yang menyebabkan terjadinya PSBB dan penurunan aktivitas ekonomi.
“Untuk skenario berat, kita masih berasumsi bahwa Covid-19 akan mencapai puncaknya pada bulan Mei dan awal Juni 2020, kemudian akan mengalami penurunan dan tidak terjadi outbreak kedua. Sedangkan untuk skenario yang sangat berat membutuhkan PSBB yang lebih panjang lagi dan tidak hanya di Jakarta,” kata Sri Mulyani.
Dengan berbagai skenario tersebut, Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi 2,3 persen menjadi skenario yang cukup optimistis. Namun Menkeu juga melihat adanya potensi perubahan pusat pandemi Covid-19 dari sebelumnya di Jakarta bergeser ke daerah-daerah tujuan mudik seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Sulawesi Selatan. Sehingga upaya penanganan dan pencegahan Covid-19 harus dilakukan secara konsisten dan disiplin.
Saat ini pemerintah juga terus mengkaji kemungkinan melakukan kebijakan pembukaan secara bertahap seperti yang mulai dilakukan di berbagai negara, namun tetap memperhatikan agar jangan sampai terjadi outbreak yang semakin meluas. Selain itu, pemerintah saat ini juga terus melakukan tes Covid-19 secara lebih luas.
“Inilah situasi yang kita hadapi di dalam melihat perekonomian kita, terutama di triwulan II dan mungkin masih berlanjut di triwulan III. Oleh karena itu, kemungkinan masuk ke dalam skenario sangat berat mungkin saja terjadi dari 2,3 persen menjadi minus 0,4 persen. Ini apabila pada triwulan III dan IV kita tidak mampu me-recover, atau kalau pandemi menimbulkan dampak yang lebih panjang,” kata Sri Mulyani.
Dalam situasi pandemi Covid-19, Sri Mulyani menegaskan kebijakan pemerintah selalu fokus pada tiga hal, yaitu kesehatan dan keselamatan masyarakat, social safety net, dan menjaga kebutuhan modal kerja.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan I 2020 sebetulnya masih lebih baik dibandingkan beberapa mitra dagang Indonesia. Antara lain pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang minus 6,8 persen, Amerika Serikat 0,3 persen, Singapura minus 2,2 persen, Korea Selatan 1,3 persen, Hong Kong minus 8,9 persen, dan Uni Eropa minus 2,7 persen. Sedangkan Vietnam masih tumbuh lebih baik yang mencapai 3,8 persen. (S-BS.jr)