Washington, 4/6/20 (SOLUSSInews.com) – Saat ini Pemerintah Amerika Serikat mengambil ancang-ancang untuk mengenakan tarif pada beberapa mitra dagangnya, termasuk Indonesia, tampaknya sebagai balasan karena negara-negara tersebut berencana untuk memajaki perusahaan-perusahaan internet Amerika Serikat.
Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mengatakan, Selasa (2/6/20), pihaknya sudah mulai menyelidiki kebijakan pajak Uni Eropa, Austria, Brasil, Republik Cheska, India, Indonesia, Italia, Spanyol, Turki dan Inggris yang berencana, atau sudah menerapkan pajak layanan digital atas transaksi di internet.
“Presiden [Donald] Trump prihatin bahwa banyak mitra dagang kami mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara tidak adil,” kata Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
USTR belum menentukan barang mana yang akan dikenakan tarif, atau seberapa besar tarifnya.
Raksasa GAFA
Amerika tahun lalu sempat mengancam Prancis dengan berancang-ancang untuk menerapkan tarif dagang senilai US$2,4 miliar atas impor barang dari ekonomi terbesar kedua di Eropa tersebut.
Prancis saat itu bersiap untuk menerapkan pajak yang menargetkan layanan digital secara umum. Walau demikian, pejabat-pejabat Prancis sering menyebut rencana tersebut sebagai pajak GAFA (Google, Apple, Facebook dan Amazon) karena itu akan sangat mempengaruhi raksasa-raksasa internet asal AS tersebut.
Pemerintahan Trump kemudian memulai langkah formal untuk mengenakan tarif hingga 100 persen pada impor dari Prancis, seperti anggur, keju, tas tangan dan porselen.
Prancis lalu setuju untuk menunda pajak baru tersebut hingga setidaknya akhir tahun 2020, walau tetap menganggap tarif yang diusulkan Trump sebagai provokasi yang dapat memicu perang dagang.
Kutip PPN
Indonesia bulan lalu mengumumkan rencananya untuk mewajibkan semua penjual mengutip pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen pada setiap transaksi digital dan menyetorkannya ke pemerintah, meskipun penjual tersebut tidak berdomisili di Indoensia.
Skema pajak baru ini akan mempengaruhi transaksi-transkasi di layanan digital populer, seperti biaya langganan menonton film di Netflix atau mendengarkan musik di Spotify.
Langkah tersebut diambil untuk menambah penerimaan pajak dan menambal defisit anggaran belanja negara yang melebar karena biaya penanganan pandemi Covid-19.
Indonesia sendiri sedang dalam negosiasi dagang yang alot dengan Amerika. Ekonomi terbesar di Asia Tenggara tersebut tengah berupaya untuk tetap mendapatkan fasilitas insentif tarif preferensial umum (GSP) yang tengah dievaluasi oleh AS.
GSP merupakan program preferensi perdagangan dari pemerintah AS yang mengurangi bea pada produk ekspor terpilih.
USTR telah mengkaji kelayakan Indonesia untuk program ini sejak tahun lalu.
Saat ini, Indonesia hanya mengekspor 836 dari lebih dari 3.000 produk yang memenuhi syarat untuk GSP.
Ekspor terbesar Indonesia ke AS melalui skema GSP adalah ban mobil, kalung emas, asam lemak, tas kulit, dan aksesori perhiasan.
Pada 2018, total ekspor Indonesia ke AS bernilai US$ 18 miliar, lebih dari US$ 2 miliar di antaranya melalui program GSP. Demikian Wall Street Journal, seperti dilansir BeritaSatu.com.