New Jersey, 11/6/20 (SOLUSSInews.com) – Produsen obat dan peralatan medis asal Amerika Serikat, Johnson & Johnson, memulai uji coba tahap awal vaksin virus corona (Covid-19) pada manusia di Juli 2020, atau lebih awal dari perkiraan sebelumnya September.
“Berdasarkan kekuatan data praklinis yang telah kami lihat sejauh ini, dan interaksi dengan otoritas pengawas, kami dapat mempercepat pengembangan klinis vaksin SARS-CoV-2 yang diteliti, Ad26.COV2-S,” kata Chief Scientific Officer J&J, Paul Stoffels dalam siaran pers dikutip CNBC Kamis (11/6/20).
Perusahaan mulai mengembangkan vaksin Covid-19 pada bulan Januari 2020. Perusahaan menggunakan teknologi yang sama saat membuat vaksin Ebola ke warga di Republik Demokratik Kongo pada akhir 2019. Ini melibatkan bahan genetik dari virus corona dengan virus adeno yang dimodifikasi sebagai penyebab pilek pada manusia.
J&J awal tahun ini mengatakan, jika vaksin bekerja dengan baik dan aman, akan memproduksi 600 hingga 900 juta dosis pada April 2021. Namun perusahaan pada Rabu mengatakan akan memasok lebih satu miliar dosis secara global selama tahun 2021.
Pada tahap awal, J&J akan menguji vaksin pada 1.045 orang dewasa sehat berusia 18 hingga 55 tahun serta orang dewasa berusia 65 tahun ke atas di Amerika Serikat dan Belgia.
Upaya J&J merupakan salah satu dari beberapa pengembangan vaksin potensial di dunia untuk mencegah Covid-19, yang telah menginfeksi lebih 7,2 juta orang di seluruh dunia dan menewaskan 411.879, menurut data sebagaimana dikumpulkan Universitas Johns Hopkins.
Berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya ada 124 vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan hingga 2 Juni. Dari total vaksin itu, setidaknya 10 sudah dalam tahap uji klinis. Demikian CNBC.
Percepat vaksin lokal
Sementara itu, Pemerintah RI melalui Kementerian Riset Teknologi (Kemristek) membentuk tim optimalisasi pembuatan vaksin Covid-19 berbasis strain virus Covid-19 yang berasal dari transmisi lokal. Upaya ini dilakukan agar riset penemuan vaksin dapat dipercepat dan Indonesia bisa mandiri untuk memproduksi vaksin.
Menteri Riset Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan, riset vaksin ini ditekankan sebagai solusi pamungkas menghadapi Covid-19.
Sebelumnya, Kementerian Riset Teknologi (Kemristek) membentuk konsorsium riset penanganan Covid-19 yang di dalamnya terdiri banyak riset dan inovasi menghadapi pandemi ini. Salah satunya ialah riset vaksin yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
“Sekarang ada perlombaan perusahaan farmasi di dunia, karena mereka melihat market yang besar. Sekian miliar orang di dunia menunggu vaksin Covid-19 agar tuntas,” katanya dalam telekonferensi di Jakarta, Jumat (5/6/20) lalu.
Lembaga Eijkman, lanjutnya, sudah lama melakukan penelitian terkait SARS. Hal inilah yang membuatnya optimistis, hasil riset vaksin akan terwujud tahun depan.
“Kita harus memperbaiki kualitas kemampuan lembaga riset vaksin penyakit menular khususnya di daerah tropis,” uharnya.
Lembaga Eijkman saat ini masih mengembangkan riset vaksin Covid-19 yang berada dalam tahap whole genome sequencing. Ditargetkan riset Eijkman berlangsung satu tahun, lalu masuk tahap praklinis dan uji klinis yang melewati berbagai tahapan.
Oleh karena itu, tim yang dibentuk dan terdiri dari berbagai lembaga serta swasta ini akan mempercepat riset sebagaimana dilakukan Eijkman. Misalnya saja ada riset dengan pendekatan platform lainnya.
Terkait anggaran, Bambang menyebut, riset didukung anggaran yang menyatu dalam konsorsium riset, dimana totalnya mencapai Rp200 miliar. Pengembangan riset ini juga melibatkan BUMN dan swasta, sehingga dalam setiap prosesnya, BUMN dan perusahaan swasta bisa terlibat di dalamnya.
Sedangkan ketika nanti vaksin ditemukan, wewenang untuk imunisasi massal berada di tangan Kementerian Kesehatan. Sementara wewenang untuk produksi massal berada di tanggung jawab BUMN dan swasta.
Untuk pengembangan vaksin Covid-19 lokal ini, peneliti Indonesia pun terbuka untuk bekerja sama dengan pihak luar negeri.
Saat ini, Bio Farma juga bekerja sama dengan Tiongkok. Lalu, Kalbe Farma bekerja sama dengan Korea. Dengan beragam instansi dan model pendekatan yang beragam, diharapkan penemuan vaksin berbasis virus lokal ini bisa segera terwujud.
“Dengan bisa diproduksi di dalam negeri, kita tidak bergantung vaksin impor. Negara kita besar, sangat riskan jika kita bergantung vaksin impor,” ujarnya lagi.
Dalam pengembangan vaksin lokal ini, juga akan diberikan ruang penelitian khusus vaksin yang aman untuk anak-anak. Dengan percepatan riset vaksin, Bambang Brodjonegoro berharap pada 2021 imunisasi massal bisa dilakukan. Jika diasumsikan vaksin yang dibutuhkan 300 juta ampul dengan harga satuannya US$1, berarti anggaran dibutuhkan mencapai Rp5,5 triliun. (S-CNBC/BS/jr)