Jakarta, 30/10/21 (SOLUSSInews.com) – Pada hari Kamis (14/10/21) lalu merupakan hari jadi ke-100 polisi legendaris Hoegeng Iman Santoso, yang sampai sekarang masih menjadi teladan bagi para petugas di seluruh Indonesia.
Hoegeng yang wafat pada 14 Juli 2004, dikenang karena kejujuran dan integritasnya dalam seragam polisis.osok yang dinilai khalayak sangat langka di tengah kisah penuh keluh kesah masyarakat saat mereka harus berurusan dengan penegak hukum.
Dia sudah mencapai puncak karirnya dengan menjabat Kepala Kepolisian RI periode Mei 1968 hingga Oktober 1971.
Wartawan senior Farouk Arnaz yang telah selama bertahun-tahun meliput di Markas Besar Polri mengenang Hoegeng sebagai polisi teguh hati dalam menjaga marwah dan integritas institusinya.
Meskipun bukan saksi hidup, Farouk mendapatkan testimoni tentang kiprah Hoegeng dari orang-orang terdekat almarhum, termasuk sang istri, Meriyati, yang sekarang sudah berusia 96 tahun.
Farouk, yang juga pernah bertugas di media BeritaSatu.com sejak awal pendiriannya, menuangkan kisah tersebut dalam buku berjudul “Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan”.
“Pak Hoegeng berhasil menjadi teladan dan menjaga integritasnya saat dipercaya menjabat sejumlah posisi strategis. Itu karena keteguhan hatinya dan dukungan keluarga. Momen 100 tahun Pak Hoegeng adalah momen merayakan keteladanan, merayakan kejujuran, dan merayakan kebenaran,” kata Farouk kepada BeritaSatu.com.
“Kisah Hoegeng relevan dan perlu diceritakan berulang — bahwa pernah ada dan bisa ada seorang Kapolri hidup dengan prinsip seperti itu. Pak Hoegeng menciptakan dan mewariskan standar nilai-nilai kebaikan, nilai moral, sikap, dan perbuatan,” imbuh Farouk.
Dia mengatakan, sebuah kehormatan besar baginya untuk bisa ambil bagian dalam mengenang Hoegeng pada hari jadinya yang ke-100.
Tidak mampu beli rumah
Selain menjadi Kapolri pertama di era Orde Baru, Hoegeng juga sempat menjabat di sejumlah posisi penting seperti Dirjen Imigrasi (1961-1965), Menteri Iuran Negara (1965), hingga Menteri/Sekretaris Kabinet Inti (1966) di era Orde Lama.
Anak pasangan Soekario Kario Hatmodjo, seorang ambtenaar (Kepala Kantor Kejaksaan Karesidenan Pekalongan asal Tegal) dengan Oemi Kalsoem (seorang ningrat asal Pemalang) itu juga dikenal piawai bermain musik, khususnya ukelele, gitar, dan bas. Serta piawai melantunkan musik berirama Lautan Teduh (Hawai).
Hoegeng pernah mendirikan grup musik Hawaiian Seniors dan aktif sebagai musisi di dalamnya. Namun, gara-gara kasus “Petisi 50”, di mana Hoegeng bersama para tokoh terkemuka lainnya mengkritisi cara rezim Soeharto menangani lawan-lawan politiknya, acara musik dia yang sempat disiarkan di Radio Elshinta dan TVRI hampir selama 10 tahun itu dihentikan dengan berbagai alasan.
Hoegeng menjadi polisi setelah terinspirasi idolanya di masa kecil, yaitu Kepala Jawatan Kepolisian di Karesidenan Pekalongan, Komisaris Polisi Ating Natadikusumah. Hoegeng lalu bersekolah di Sekolah Kader Tinggi Polisi Sukabumi di bawah didikan RS Soekanto (yang kelak jadi Kapolri pertama). Hoegeng pernah tergoda dan sempat pindah satuan ke TNI AL dan berpangkat mayor tituler (1946) sebelum kembali bertugas sebagai polisi.
Hoegeng, yang lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, bukan tipe Kapolri yang hobi main golf – karena tidak mampu beli stik. Dia juga tidak mampu membeli rumah dan mobil pribadi dan akhirnya pensiun dini menjelang usia 50 tahun setelah dicopot sebagai Kapolri.
Saat itu Hoegeng sedang bersemangat mengungkap tiga kasus menonjol: penyelundupan mobil oleh Robby Tjahyadi Cs, kasus pemerkosaan Sum Kuning, dan kasus penembakan mahasiswa ITB Rene Coenrad oleh oknum taruna Akademi Kepolisian.
Ajaran hidup Hoegeng
Hari jadinya ke-100 diperingati secara sederhana di kediaman Hoegeng yang bersahaja di komplek Pesona Khayangan, Depok, dengan pemotongan nasi tumpeng, disusul acara ziarah ke makamnya di TPU Giritama, Tonjong, Bogor.
Acara hanya diikuti oleh keluarga inti Hoegeng, yakni Meriyati dan tiga anak mereka: Reni Soerjanti Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng, dan Sri Pamujining Rahayu. Selain itu hadir cucu Hoegeng, Krisnadi Ramajaya Hoegeng.
Pada kesempatan itu juga dilakukan peluncuran buku karya Farouk.
Prosesi acara itu sesuai ajaran hidup Hoegeng untuk selalu bertindak sederhana — termasuk tidak menyelenggarakan acara dengan berlebihan.
“Terimakasih atas perhatiannya kepada Mas Hoegeng yang membuat saya terharu karena ternyata Mas Hoegeng masih terus diingat dan dikenang termasuk dengan buku ini,” kata Meriyati.
Ingin Jadi Seperti Kapolri Hoegeng atau Patih Gadjah Mada? Ini Jawab Badrodin
Harapan hadirnya Hoegeng-Hoegeng baru
Kapolri Jenderal Listyo Sigit menorehkan kesannya tentang Hoegeng dalam buku tersebut, sekaligus menyampaikan pesan ke seluruh jajaranny, yakni, kisah itu bukan sekadar mitos atau dongeng.
“Jenderal Hoegeng yang penuh keteladanan mampu menginspirasi banyak orang untuk menjalani kehidupan dengan idealisme, kejujuran, dan nilai-nilai kebenaran yang tentunya perlu diimplementasikan pada setiap insan Bhayangkara pada level pimpinan sampai dengan pelaksana di lapangan,” tulis Listyo.
Hoegeng, ungkap Listyo, memiliki keteguhan dalam menjaga prinsip, integritas, dan dedikasi dan hal itu sejalan dengan konsep transformasi menuju “Polri yang Presisi” dalam mewujudkan polisi yang dekat dan dicintai masyarakat.
Jenderal Listyo Sigit juga menyampaikan harapannya akan hadirnya Hoegeng-Hoegeng baru di jajaran Polri. (S-BS/jr)