Jakarta, 31/3/19 (SOLUSSInews) – Belakangan, aroma dugaan ketidaknetralan Polri kembali muncul permukaan. Satu per satu cerita di balik layar itu mulai muncul di publik, namun selalu terbantahkan. Yang paling anyar ialah pengakuan berani mantan Kapolsek Pasirwangi, Garut, Jawa Barat AKP Sulman Azis. Perwira pertama ini mempertaruhkan karier dan kemungkinan menghadapi konsekuensi hukum.
Dia tampil terbuka di kantor Lokataru, Jakarta, Minggu (31/3/19). Kepada wartawan dia mengaku diperintahkan menggalang dukungan untuk pasangan Calon Nomor 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Dia juga diperintahkan mendata dukungan suara pemilih di wilayahnya. Yang memerintahkan ialah Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna. Perintah serupa menurutnya juga diberikan kepada kapolsek lain di wilayah Garut.
Sontak, Budi Satria Wiguna membantah ada instruksi untuk memenangkan Jokowi.
“Itu tidak benar. Dia dimutasi sebab hal wajar, karena ada beberapa Kapolsek yang mau pensiun dan ada perwira yang mau naik AKP. Dia menjabat sebagai Kapolsek hampir dua tahun dan kewenangan mutasi Kapolsek ada di Polda,” kata Budi Satria Wiguna saat dihubungi BeritaSatu.com, Minggu (31/3/19).
Kapolsek lain membantah
Kapolda Jawa Barat, Irjen Agung Budi Maryoto yang dihubungi BeritaSatu.com secara terpisah juga membantah pengakuan Sulman jika ada perintah berjenjang untuk memenangkan Jokowi.
“Yang bersangkutan sudah tidak jadi Kapolsek, sekarang dinas di Polda. Propam saat ini sedang melaksanakan penyelidikan (pada Sulman),” tambahnya.
Lulusan Akpol 1987 rekan seangkatan Tito ini memastikan, pengakuan penggalangan itu tidak ada. Alasannya para Kapolsek yang lain, yang juga ikut mendengar arahan Kapolres, mengaku hal itu tidak ada, alias membantah.
Hal senada juga dikatakan Wakapolri, Komjen Ari Dono Sukmanto saat dihubungi BeritaSatu.com.
“Kita memang membuat indeks potensi kerawanan daerah terkait pemilu (dan mendata pilihan pemilih) itu benar tetapi kalau bersayap (menggalang suara) itu yang tidak benar,” kata Ari.
Apalagi, kata orang nomor dua di tubuh Polri itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah mengeluarkan surat telegram terkait netralitas Polri. Yang terakhir ialah telegram pada 18 Maret kemarin.
Namun, bukankah telegram itu bisa digunakan sebagai upaya cuci dan lepas tangan kalau terungkap memang ada perintah memenangkan Jokowi secara struktural dari pimpinan Polri?
“Telegram untuk netralitas sudah berulang kali disampaikan,” jawab Ari singkat.
Pendataan prefrensi pemilih
Sementara Tito belum merespon saat ditanya perkembangan pengakuan anggotanya yang diperintah bekerja demi suara Jokowi itu.
Seperti diberitakan, isu pendataan prefrensi pemilih itu pertama kali diungkap Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar.
Data itu menurutnya dimasukan dalam format Excel. Data ini diinput pada Februari lalu. Lulusan master dari Inggris ini menduga pendataan ini terjadi di banyak daerah.
BeritaSatu.com sempat diperlihatkan rekap data itu dan salah satunya berjudul mapping kekuatan suara Pilpres 2019 Paslon 01 dan 02 tingkat desa di kecamatan X serta Y di sebuah provinsi di Pulau Jawa.
Data itu memang rinci. Misalnya ada kolom jumlah pemilih, kolom persentase berapa persen dukungan ke 01 dan ke 02, nama-nama tokoh politik dan masyarakat, hingga pesantren serta Ormas di kedua kecamatan tersebut.
Misalnya ditulis jumlah pemilih di desa XX di kecamatan X ada 5409 orang, di mana suara untuk 01 ada 55 persen dan sisanya untuk 02. Lalu ada yang 50:50 dan ada yang 45:55.
Polri akhir-akhir ini memang disibukan dengan isu bila mereka bermain politik dan tidak netral.
Mulai dari dukungan menjadi buzzer Jokowi dengan aplikasi Sambhar, kesusupan aksi politik dalam beberapa acara Millenial Road Safety Festival (MRSF), video “Jokowi Yes” yang terjadi di Sumut, dan kini kasus di Garut.
Tapi, dari penelusuran dan informasi yang diperoleh redaksi, kebanyakan masih kurang kuat sebagai bukti. (S-BS/jr)