Jakarta, 27/11/20 (SOLUSSInews.com) – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi alias Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah terus mendorong industri baterai litium sebagai bagian dari keseriusan terhadap program hilirisasi mineral.
Hal ini disampaikan Menko Luhut dalam acara Battery Day Series yang diadakan secara virtual oleh CLSA Sekuritas.
“Saat ini kita akan memiliki smelter copper di Weda Bay, Halmahera, dan kita juga bisa memproduksi asam sulfat yang merupakan bagian penting dari baterai litium. Jadi kita menargetkan pada 2023 kita bisa memproduksi baterai litium 811,” ujar Menko Luhut dalam keterangan pers yang diterima BeritaSatu.com, Jumat (27/11/20).
Disebut Menko Luhut, pengembangan produk turunan nikel saat ini masih fokus pada stainless steel, namun secara bertahap pemerintah terus menyiapkan semua kebutuhan agar industri di Indonesia bisa menuju ke produksi baterai litium.
“Indonesia saat ini fokus terhadap hilirisasi, semuanya harus dilakukan hilirisasinya. Mengapa? Karena industri hilirisasi ini menciptakan banyak kesempatan kerja, nilai tambah, transfer teknologi, pendidikan, dan banyak hal lain yang bisa kita dapatkan dari hilirisasi,” jelasnya.
Untuk menyukseskan target tersebut, pemerintah juga menyiapkan skema insentif berupa tax holiday yang berlaku untuk HPAL (High Pressure Acid Leaching) dan Pyrometallurgy, kemudian pengurangan royalti dari 10 persen menjadi 2 persen untuk limonite nickel ore untuk produksi HPAL, dan tax allowance untuk pengolahan dan pemurniannya.
“Pipeline proyek HPAL di Indonesia saat ini setidaknya sudah ada 4 pabrik HPAL yang sedang disiapkan. Pertama, yaitu PT Halmahera Persada Lygend di Halmahera, kemudian PT QMB, PT Huayue dan PT Vale Indonesia yang berada di Sulawesi. Ini sudah mulai berjalan sekarang, jadi kami sangat serius khususnya untuk pengembangan ini semua,” tambahnya.
Direktur Harita Nickel, Tonny Hasudungan Gultom menyampaikan, pemerintah sangat serius untuk mendukung industri hilirisasi nikel, khususnya baterai litium. Itulah mengapa saat ini di Sulawesi begitu banyak industri smelter penghasil feronikel.
“Sejauh ini pemerintah sangat men-support industri ini. Salah satunya ditunjukkan dengan memutuskan untuk melarang ekspor bijih nikel sejak 2014. Pemerintah sangat serius untuk mendukung industri hilirisasi ini,” ujar Tonny.
Fasilitas pabrik yang terletak di Pulau Obi, Maluku Utara, tersebut terdiri atas unit high pressure acid leach (HPAL) dan fasilitas penunjang, antara lain unit pembuat asam sulfat, unit penyedia kapur dan lime milk, pembangkit listrik, unit penyedia air, dan pelabuhan.
Optimistis Indonesia jadi pemain utama mobil listrik
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan, hilirisasi mineral yang digencarkan pemerintah dapat menjadi salah satu penopang ekonomi pascapandemi. Kebijakan tersebut, juga akan menjadikan Indonesia sebagai pemain utama di dunia dalam hal baterai lithium dan mobil listrik.
Baca Juga: Indonesia Siap Jadi Produsen Kendaraan Listrik
Disebut Luhut, bersama dengan sektor lainnya seperti pariwisata dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), industri hilirisasi akan terus didorong karena potensinya sangat besar dalam membantu perekonomian nasional ke depan.
“Saya tidak mengatakan hilirisasi sendiri, karena semua harus paralel. Namun, dengan hilirisasi ini paling tidak sudah menyumbang perkiraan untuk tahun ini sebesar US$ 10 miliar atau sekitar Rp 144 triliun (kurs Rp 14.400 per dolar AS). Itu angka yang besar,” ujar Luhut seperti dikutip keterangan pers yang diterima BeritaSatu.com, Selasa (28/7/20).
Luhut menambahkan, sektor hiliirisasi mineral cukup berperan untuk menopang perekonomian pascapandemi. Hal ini dikarenakan, sektor hilirisasi tidak terdampak terlalu dalam dan ekspor produk turunan yang dihasilkan dari pabrik pengolahan semakin menunjukkan dampak positif.
“Hilirisasi nikel ini akan kita kembangkan sampai ujungnya baterai lithium dan juga keperluan lain untuk mobil listrik, dan kita akan menjadi pemain utama lithium baterai ini,” jelas Luhut.
Baca Juga: Mobil Listrik Wajib Dilengkapi Suara
Salah satu smelter lokal yang berada di Pulau Obi, Harita Nickel, diproyeksikan akan menjadi pemain penting dalam industri bahan baku utama untuk mobil listrik tersebut. Penyelesaian smelter hidrometalurgi high pressure acid leaching (HPAL) di sana juga terus berlanjut meski di tengah pandemi.
Luhut menyampaikan, ia mendukung semua perusahaan smelter dan tidak ada perlakuan yang berbeda. “Nikel ini dulu kita hanya ekspor kira kira nilainya US$ 612 juta setahun, tapi sekarang kita sudah ekspor US$ 6,24 miliar setelah menjadi stainless steel slab,” tegasnya.
Selama periode 2015-2019, total investasi di hilirisasi tambang sudah mencapai US$40 miliar. Ekspor besi dan baja sendiri bisa menembus angka US$9 miliar. Sedangkan untuk sektor nikel, nilai ekspornya sudah mencapai US$ 14 miliar. Sektor ini akan sangat berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia ke depan.
Luhut menambahkan, Indonesia ke depan akan menjadi pemain penting dalam peta industri mobil listrik dunia. Hal ini merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk mencapai Paris Agreement pada 2030. Paris Agreement merupakan kerangka kebijakan jangka panjang bagi negara-negara untuk mengurangi emisi karbon. Pada tahun itu, Eropa akan mewajibkan semua kendaraan berbasis listrik, dan melarang energi fosil.
Baca Juga: Investasi Tiongkok di Morowali Dorong Hilirisasi Nikel
“Itu kan tinggal 10 tahun lagi. Itu yang kita targetkan. Pada 2025-2027 juga mereka mulai terapkan berapa puluh persen harus pakai mobil listrik. Kita pun secara bertahap akan mengarah ke sana,” tandas LBP. (S-BS/jr)