Jakarta, 28/12/22 (SOLUSSInews.com) – Kitab Unda-undang Hukum Pidana telah diundangkan di DPR RI belum lama berselang. Namun, ada segelintir orang merasa perlu direvisi sebelum diterapkan.
Nah, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Kongres Advokat Indonesia (KAI) dalam catatan akhir tahunnya menyimpulkan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan memang bermasalah.
Disebitkan, KUHP ini lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan sehingga berpotensi terjadi kesewenang-wenangan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang kritis terhadap pemerintah.
Oleh karena itu KAI menegaskan, jika ternyata nanti dalam penerapannya KUHP baru benar-benar banyak terjadi pelanggaran HAM, dan kesewenang-wenangan terhadap kebebasan masyarakat dalam berpendapat, berarti KUHP tersebut harus di revisi.
Demikian siaran pers KAI, Selasa (27/12/22), yang ditandatangi oleh Presiden dan Sekjennya, masing-masing Erman Umar serta Heytman Jansen.
Membelenggu Hak Asasi Manusia
Berdasarkan catatan KAI, pengesahkan KUHP pada 6 Desember telah menjadi salah satu catatan hukum tahun 2022 yang paling menonjol.
Sejak awal KAI memandang disahkannya KUHP itu telah menuai kontroversi, karena UU tersebut dianggap membelenggu Hak Asasi Manusia, hak-hak masyarakat dalam berpendapat di Negara Indonesia sebagai sebuah Negara Demokrasi.
Padahal perjuangan untuk mengganti KUHP peninggalan kolonial Belanda telah berlangsung hampir 50 tahun. Tentu masyarakat menanti dengan harapan KUHP yang dihasilkan oleh bangsa dan pemerintah sendiri akan jauh lebih baik dibanding KUHP produk Penjajah Belanda.
Di sinilah KAI menyadari ada dilema antara untuk secepatnya menganti kUHP lama dengan KUHP Baru yang lebih demokratis.
Kriminalisasi terhadap si pengkritik
Dalam catatan akhir tahunya itu, KAI pun menandaskan, pemerintah terlihat masih kerab
membungkam kritik dari pihak yang berseberangan, dengan cara menggunakan pendekatan diduga kriminalisasi terhadap si pengkritik.
Fakta ada upaya kriminalisasi terhadap para pengkritik kebijakan pemerintah tersebut dapat ditemukan dalam beberapa kasus hukum.
Jika keadaan ini terus dilakukan, demikian dalam pandangan DPP KAI, akan dapat menggerus kedudukan negara kita sebagai sebuah negara demokrasi.
Kasus Sambo
Catatan hukum lain yang dinilai KAI sangat menonjol, ialah peristiwa penembakan yang berakibat meninggalnya Ajudan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, Alm Nofriansyah Yoshua Hutabarat.
Dalam peristiwa tersebut, Fredy Sambo sudah ditetapkan sebagai tersangka dan kini tengah disidangkan di PN Jakarta Selatan. Sambo didakwa dengan Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana), Pasal 338 (penganiyaan yang menyebabkan kematian).
Selain Sambo juga ditetapkan sebagai tedakwa, Putri Chandrawati (isteri Sambo) dan para mantan ajudannya masing-masing Richard Eliezer, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Maaruf (supir keluarga Ferdy Sambo).
Tak hanya itu, kasus ini juga menyeret banyak personil Polri ke depan sidang etik, yang berbujung pemecatan terhadap mereka sebagai anggota Polri.
KAI mengeritik penanganan kasus ini oleh Polri sangat lambat. Kendati lambat, KAI tetap berharap para penegak hukum masih dapat mau bertindak profesional, sehingga keputusan yang diperkirakan bakal dijatuhkan sekitar alhir Januari 2023 dapat berlangsung sesuai keadilan.
Dalam konteks ini, apapun penilaian publik terhadap perkara ini, bagi KAI yang terpenting yang perlu dijaga ialah obyektifitas majelis hakim dalam memeriksa perkara ini. KAI menekankan majelis hakim harus berpatokan atas bukti-bukti yang terungkap dalam fakta persidangan, bukan opini yang berkembang diluar persidangan.
Akhirnya KAI menekankan dalam menghadapi pesta demokrasi tahun 2024 nanti perlu terus dikawal dan diantisipasi agar terhindar dari segala bentuk kecurangan untuk mendapatkan kekuasaan. (S-r/ipik/hr)