Jakarta, 7/9/17 (SOLUSSInews) – Ya, sejumlah kelemahan masih membelit Jakarta, sehingga masih jauh dari sebutan kota hijau. Apalagi planning rencana kota kerap kali tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Lebih-lebih lagi, kasus penyerobotan tanah-tanah yang sesungguhnya untuk ruang terbuka hijau, atau daerah serapan air, terus saja masif berlangsung. Baik oleh perorangan, maupun (atasnama) institusi.
Tantangan terberat di sini, ialah, menyangkut ‘mind set’ para pemukim, juga sikap pengembang properti yang kurang berwawasan lingkungan, juga birokrasi (sebagian masih melakukan pendekatan memperbesar keran PAD, Red).
Karena itu, dalam konteks pengembangan dan pertumbuhan kota baru, kita tidak boleh lagi lagi mengandalkan Jakarta.
Demikian pendapat tiga pakar dalam kesempatan terpisah, yang opininya dikompilasikan redaksi. Mereka ialah Dr Ferol Warouw, ST, MSi, ahli teknik dan ekonomi lingkungan jebolan Universitas Indonesia (UI) dan Pengamat Tata Kota, Niwono Joga, serta Akademisi Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna.
“Berbagai kasus penyerobotan tanah dan pemaksaan pembangunan dengan mengabaikan konsep-konsep tata ruang yang benar, telah membuat Jakarta sejak empat dekade lalu menjadi kurang ramah lingkungan, dan menjurus kepada ketiadaan peradaban eko sistem,” kata Ferol Warouw yang juga analis dari Institut Studi Nusantara (ISN), ketika berbincang dengan Tim ‘SOLUSSInews’ dan ‘BENDERRAnews).
Dia lalu menunjuk kerasnya tantangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam mencoba menata ulang lingkungan kota agar hijau dan asri. “Para pejabat kita sering terpaksa mengambil tindakan keras, dan perlawanan pun tidak lembek dari mereka yang sesunggunya tak memiliki hak resmi atas lahan di mana mereka berusaha atau bertempat tinggal,” ungkapnya.
Situasi yang juga amburadul terjadi di banyak kawasan kumuh, dan Pemprov DKI Jakarta agak kewalahan mengelolanya.
“Memang butuh sosialisasi lama dan sabar untuk meyakinkan mereka, baik itu yang tinggal secara maaf, liar, juga para ‘tuan tanah’ tak resmi bersama para preman-premannya yang sering menarik upeti dari para pemukim liar. Proses pendidikan dan pemahaman tentang kebutuhan lingkungan hijau kota dan adanya lokasi yang pantas untuk itu, menjadi milik bersama, patut terus digencarkan tanpa lelah,” ujarnya lagi.
Pola hunian layak
Artinya, penataan lingkungan hijau ibukota negara ini, berhubungan dengan urusan manusia. “Manusianya dulu yang ditata pola pikir dan memahami hak serta kewajibannya terhadap negara, terhadap kota dan kepada lingkungan masa depan yang nyaman serta memberi kehidupan layak,” katanya.
Ferol lalu mengingatkan pemerintah serta para pengembang pemukiman, agar lebih arif dalam mengembangkan hunian-hunian yang semakin layak di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
“Pemerintah jangan sekedar ingin memperbesar kantong PAD lewat investasi perumahan, juga pengembang properti jangan juga cuma mengenar profit 10 hingga 20 kali lipat atas lahan yang dikuasainya. Tapi pikirkanlah kemungkinan-kemungkinan masalah dan bahkan bencana, jika kita membangun kawasan pemukiman tanpa memperhitungkan urusan penataan lingkungan yang nyaman dan berkelanjutan serta memberi kehidupan bagi manusia di sana,” tegasnya.
Dia lalu menunjuk contoh beberapa pengembang besar yang sudah mulai menguban ‘mind set’ pembangunan properti, tidak sekedar bangun rumah, atau kompleks perumahan, tetapi sebuah kawasan teritori hunian layak. “Di sana ada ‘central park’ atau jantung kota yang jadi pusat lingkungan hijau asri bagi kepentingan seluruh pemukim di kota mandiri tersebut, ada pula aneka fasilitas sosial (Fasos), fasilitas umum (Fasum) dan tak ketinggalan fasilitas ekonoi (Fasek),” katanya lagi.
Tegasnya, demikian Ferol Warouw, tidak bisa kita membangun sebuah kawasan hunian dengan tidak berhitung soal kepentingan manusia, yang sekaligus mengajar pemukimnya agar hidup sesuai kebutuhan eko sistem. “Dalam kawasan itu, berbagai sasrana dan prasarana seyogianya tersedia, termasuk pusat pelayanan kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. Lalu ada taman-taman nan hijau yang memberi nuansa kehidupan lebih manusiawi, di mana pemukimnya diajak untuk ikut merawatnya bagi kepentingan keberlangsungan kehidupan insani,” demikian Ferol Warouw.
Keharusan 30 persen
Jakarta dan banyak kota besar di Indonesia, menurut Ferol Warouw, dan juga Niwono Joga, benar-benar masih jauh dari predikat ‘kota hijau’.
“Untuk menjadi kota hijau harus berwawasan lingkungan. Saat ini, ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta masih 9,8 persen dan masih jauh dari ketentuan keharusan sebesar 30 persen,” kata pengamat tata kota, Niwono Joga, di Jakarta, Selasa (6/9/17) kemarin.
Disebutnya, sistem transportasi massal yang berkelanjutan, juga belum maksimal, meski sekarang ini tengah masuk dalam proses perbaikan. Selain itu, anjut dia, adanya kebijakan pembatasan sepeda motor melintas di ruas jalan protokol di Jakarta juga sangat disayangkan.
“Padahal, transportasi massal yang ada belum dapat menjawab kebutuhan warga. Motor ini sebenarnya sangat membantu untuk bisa sampai di tujuan dengan waktu yang lebih cepat,” kata Nirwono.
Tak kelola sampah
Lebih lanjut, Nirwono mengungkapkan, Jakarta juga belum mampu mengelola sampah dengan melakukan pemilahan. Kota ini, lanjutnya, hanya sekadar membuang sampah ke TPA Bantar Gebang tanpa pernah memilah sampah. Dalam satu hari ada 7.500 ton sampah yang dihasilkan penduduk Jakarta. Dari jumlah ini, baru sekitar 4.500 ton yang bisa dibuang di Bantar Gebang.
Masalah penataan Jakarta, semakin parah dengan penanganan kawasan kumuh yang belum maksimal. Nirwono mengungkapkan, Pemprov DKI Jakarta harus menyosisalisasikan dan mengedukasi masyarakat lokasi lokasi mana saja dan peruntukannya untuk apa kepada masyarakat terutama kepada warga yang tinggal di kawasan kumuh.
Terkait menata kawasan kumuh, lanjut Nirwono, dapat dilakukan beberapa hal yakni perbaikan/bedah rumah warga menjadi lebih sehat, peremajaan kawasan kumuh dan infrastrukturnya (air bersih, jalan, taman), relokasi kawasan jika kawasan kumuh tersebut tidak sesuai dengan rencana tata ruang misalnya untuk peruntukan RTH, lokasi rawan bencana, membahayakan warga.
“Untuk relokasi harus menyiapkan hunian vertikal yang memadai, lokasi tidak jauh dari lokasi awal, ada rekayasa sosial buat warga terkait kepastian tinggal, mata pencaharian, sekolah,” ujarnya.
Nirwono menilai, pembangunan Transit Oriented Development (TOD) ialah hal baik karena mendorong pusat kota untuk dapat dihuni. Selama ini, kawasan pusat kota tak dapat dihuni karena harganya yang tak terjangkau. “Namun, adanya TOD saat ini dapat mendorong kawasan pusat kota menjadi dapat dihuni,” kata dia.
Adanya TOD, kata Nirwono, juga dapat mendorong transportasi massal menjadi terus digunakan dan dapat menekan penggunaan transportasi pribadi. “Pertumbuhan kota baru juga harus mandiri dan tidak bergantung lagi pada Jakarta, terutama untuk sisi perekonomian,” tegasnya, seperti dilansir ‘Suara Pembaruan’ dan dicuplik ‘BeritaSatu.com’.
Jangan andalkan Jakarta
Sementara itu, pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengatakan, jika pertumbuhan kota baru tidak boleh lagi lagi mengandalkan Jakarta.
Selama ini, sejumlah kota baru yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu jelas masih hanya mengandalkan Jakarta atau kembali berorientasi ke Jakarta.
“Seharusnya kota baru ini harus mandiri jangan lagi bergantung pada Jakarta. Sampai saat ini, semua masih bergantung pada Jakarta. Harus betul betul mandiri dan bisa berkelanjutan,” kata Yayat.
Daerah penyangga, kata dia, idealnya tak lagi disebut sebagai penyangga, melainkan sebagai mitra. “Kota-kota di sekitar tak akan mampu menyangga wilayah Jakarta,” kata Yayat Supriatna. (Jeffrey Rawis, dari berbagai sumber — foto ilustrasi istimewa)