Jakarta, 14/12/17 (SOLUSSInews) – Pihak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas, menyatakanm penerimaan negara melebihi target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan 2017. Realisasi penerimaan negara mencapai US$ 13 miliar atau 110% dari target APBNP 2017 sebesar US$12,2 miliar.
“Kalau penerimaan negara dari migas akan di atas 100 persen, itu lifting semuanya,” kata Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi di Jakarta, Kamis (14/12/17).
Tanda-tanda terlampauinya penerimaan negara itu sudah terlihat sejak akhir September kemarin. Pasalnya tiga bulan jelang tutup tahun penerimaan negara sudah mencapai 79 persen atau sebesar US$9,58 miliar.
Kondisi ini berbeda dengan realisasi produksi minyak dan gas siap jual (lifting migas) 2017. Realisasi hingga akhir 2017 hanya akan mencapai 98 persen dari target lifting dalam APBN-P 2017 sebesar 1,96 juta barel setara minyak per hari (BOEPD). Namun Amien tidak menjelaskan penyebab tidak tercapainya target lifting tersebut.
“Kira-kira gini, lifting 2017 ini hanya akan tercapai sekitar 98 persen (dari target),” ujarnya.
Berdasarkan catatan produksi migas SKK Migas, sampai 12 Desember 2017 produksi minyak Indonesia mencapai 786.504 barel per hari (bph), sedangkan produksi rata-rata sepanjang 2017 mencapai 802.199 bph. Untuk produksi gas sampai 12 Desember 2017 mencapai 7.824 MMSCFD, sedangkan rata-rata produksi gas sepanjang 2017 mencapai 7.620 MMSCFD. Artiannya total liftingmigas baru mencapai 1,94 juta BOEPD. Sedangkan target yang ditetapkan APBN-P 2017 sebesar 1,96 juta BOEPD.
Bila dilihat realisasi pada September kemarin, sebenarnya liftingmigas sudah mencapai 1,93 juta BOEPD atau 98 persen dari target. Realisasi itu seiring dengan mulai berproduksinya lima lapangan migas. Pertama, lapangan migas Banyu Urip di Bojonegoro, Jawa Timur dengan nilai investasi mencapai US$3,38 miliar. Saat ini produksinya mencapai 200.000 barel per hari (bph) dari target 185.000 bph.
Lapangan berikutnya yakni Lapangan Bangka yang merupakan bagian dari proyek pengembangan laut dalam (Indonesian Deep Water Development/IDD) dengan nilai investasi US$6,98 miliar. Lapangan Bangka memproduksi gas 100 mmscfd dan 4.000 bph kondesat dan alokasi gasnya untuk kebutuhan domestik. Kemudian Lapangan Donggi, Matindok, dan Senoro. Investasi untuk Donggi dan Matindok sebesar US$762,1 juta dan Senoro mencapai US$815,5 juta. Masing-masing produksi 90 mmscfd dan 270 mmscfd.
Lapangan keempat yakni Lapangan Jangkrik dengan nilai investasi US$3,77 miliar. Lapangan migas memiliki kapasitas produksi awal 450 mmscfd dan bisa ditingkatkan hingga 600 mmscfd. Gas tersebut disalurkan menuju kilang Bontang dengan pemanfaatan 50 persen untuk domestik. Terakhir, Lapangan Madura BD dengan nilai investasi US$642,1 juta. Lapangan migas ini menghasilkan gas sebesar 46 mmscfd dan 3.000 bph kondensat. Kapasitas produksi 100 mmscfd. Sekarang baru 46 mmscfd.
Patungan Pertamina-Aramco
Sementara itu, pembentukan perusahaan patungan (joint venture/JV) antara PT Pertamina (Persero) dengan Saudi Aramco untuk pengerjaan perbaikan dan peningkatan kapasitas Kilang Cilacap baru akan terealisasi pada 2019.
Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Ardhy Mokobombang mengatakan, pembentukan perusahaan patungan dengan Saudi Aramco memakan waktu lama lantaran urutannya berbeda. Perusahaan migas asal Arab Saudi tersebut meminta pembentukan perusahaan patungan baru dilakukan setelah paket desain rinci (front end engineering design/FEED) selesai. “Perkiraannya (pembentukan JV) akhir 2019 sudah selesai. Karena bikin studinya saja 1,5 tahun,” kata dia di sela acara Pertamina Energy Forum 2017 di Jakarta, Rabu (13/12/17) seperti dilansir ‘Investor Daily’.
Karena itu, lanjutnya, perseroan dan Saudi Aramco perlu merevisi perjanjian pembentukan perusahaan patungan (joint venture agreement/JVA) yang telah diteken sebelumnya. Revisi diperlukan agar Pertamina dan Saudi Aramco dapat mengerjakan studi FEED, tanpa harus membentuk perusahaan patungan terlebih dahulu. Revisi JVA ini ditargetkan secepatnya. “Kemungkinan Januari (penandatanganan JVA),” ujar Ardhy.
Terkait kepemilikan saham, ditegaskannya tidak mengalami perubahan. Pertamina masih bakal memegang kepemilikan saham sebesar 55 persen pada proyek upgrading Kilang Cilacap. Pasalnya, perseroan menginginkan untuk dapat mengendalikan perusahaan patungan dengan Saudi Aramco tersebut. “Share itu kan mempengaruhi bagaimana kita mengendalikan joint venture jadi kalau kita posisi minimum, tentu kan posisinya kurang baik. Ini kan kilang kita sendiri,” tuturnya.
Setelah kesepakatan perusahaan patungan diteken, Pertamina-Aramco akan memulai pengerjaan FEED. Pada tahun depan, perseroan juga menargetkan kejelasan soal transfer aset dan insentif fiskal berupa tax holiday ada kepastian. Nantinya, aset yang dimiliki Pertamina saat ini akan dimasukkan ke dalam perusahaan patungan. “Nanti kami bicarakan agar (akses eksisting) dimasukkan ke dalamnya (perusahaan patungan),” jelas Ardhy.
Kilang Cilacap ditargetkan mulai beroperasi pada 2023 dari rencana awal 2022. Pasca upgrading, kapasitas pengolahan minyak mentah Kilang Cilacap akan naik dari 348 ribu bph menjadi 400 ribu bph. Selanjutnya, bakal ada tambahan produksi bensin (gasoline) 80 ribu bph, solar 60 ribu bph, dan avtur 40 ribu bph. Produksi bahan bakar naik signifikan lantaran kemampuan kilang mengolah minyak mentah menjadi produk jadi (NCI) naik dari 74% menjadi 92-98 persen. (S-ID/BS/jr)