Jakarta, 23/1/18 (SOLUSSInews) – Saat ini sejumlah pengembang dan pemerintah daerah menawarkan fasilitas menarik untk warga yang membutuhkan hunian murah dan terjangkau.
“Tetapi banyak yang terkesan kurang memahami kondisi obyektif kehidupan warga, terutama kaum pekerja dan kelompok kelas menengah lainnya. Terutama menyangkut latar belakang mata pencahariannya serta kondisi keuanganannya,” kata praktisi properti di Tangerang Selatan, Teddy Sanjaya, kepada Tim ‘SOLUSSInews’ dan ‘BENDERRAnews’, baru-baru ini.
Iktikad baik (dari pengembang atau pemerintah lokal, Red), untuk memberi kemudahan kepada para warga yang butuh hunian, dengan menawarkan aneka fasilitas khusus, sah-sah saja. “Tetapi, jika tidak didasari oleh studi mendalam terhadap background calon konsumen, itu sia-sia saja,” ujarnya.
Dia lalu menunjuk konsep hunian layak dan terjangkau ala Meikarta sebagai sousi yang terbaik. “Itu jelas benar-benar lebih obyektif, karena berada di lokasi baru yang dipenuhi aneka infrastruktur, terutama transportasi, juga harga relatif termurah dibanding lainnya, tambah lagi ada dukungan fasilitas lengkap dari kota terintegrasi itu, baik di bidang pendidikan, kesehatan, sarana komersial serta hiburan,” bebernya.
Ya, dengan harga ditawarkan mulai Rp127 juta yang dapat dicicil selama 20 tahun, unit-unit apartemen Meikarta relatif bisa dijangkau pekerja dengan upah minimum provinsi DKI Jakarta maupun upah minimum kabupaten (UMK) Jawa Barat.
Kalangan pekerja itulah yang memang membutuhkan hunian murah seperti di Meikarta.
Jakarta makin mahal
Saat ini, demikian Teddy Sanjaya, dengan semakin padatnya Jakarta, sementara di sisi lain harga hunian makin mahal dan sulitnya memperoleh lahan baru, Meikarta bisa dijadikan alternatif kawasan hunian untuk penduduk Jakarta.
Mengutip data yang dilansir Harian Kompas (8/7/27), pertumbuhan penduduk DKI Jakarta terbaru mencapai 1,43 persen, dan tak pernah kurang dari 1 persen di tahun-tahun sebelumnya. Persentase tersebut kian meningkat terutama pasca warga Jakarta kembali dari mudik.
https://asset.kompas.com/crop/0x1:1000×668/750×500/data/photo/2017/09/04/353413162.jpg
Melihat tingginya angka pertumbuhan penduduk, tak heran bila permintaan akan tanah tinggi. Terutama tanah yang dijadikan untuk lahan tempat tinggal, di lokasi-lokasi strategis yang dekat dengan pusat komersial atau perkantoran.
Berdasarkan data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) pada 2015, jumlah angka kebutuhan rumah atau backlog sebesar 11,37 juta. Dari jumlah tersebut 1,27 juta di antaranya berada di Jakarta.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia, Hari Ganie menyebut, kenaikan harga tanah di Jakarta termasuk salah satu yang tertinggi dibandingkan dengan kota besar lain di Asia.
“Kita tahu harga tanah di Jakarta saja itu saya ‘denger’ dari survei itu naik antara 22 sampai 33 persen per tahun. Itu tertinggi di Asia,” kata Hari.
Hal itu juga diperkuat oleh pendapat Direktur Eksekutif Jakarta Property Insitute Wendy Haryanto kepada ‘KompasProperti’, Selasa (22/11/20).
“Memang betul kenaikan harga tanah itu tinggi di Jakarta, karena demand-nya itu besar pada jangka waktu yang pendek. Ini drive-nya banyak, demand-nya tinggi, tapi supply-nya terbatas,” ujar Wendy.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen, tak sedikit pengembang yang berinovasi membuat unit hunian terjangkau. Mulai dari segi ukuran hingga pemilihan material yang relatif lebih murah namun tetap berkualitas.
“Sekarang kalau kita lihat, unit dari apartemen itu mengecil di tengah kota. Kenapa? Karena dia bisa jual dengan harga lebih terjangkau,” sebut Wendy Hayanto lagi. (S-B/Adv KP/jr)