Cirebon, 30/5/18 (SOLUSSInews) – Mochtar Riady selaku pengusaha yang lahir dan besar di Indonesia, kemudian menjadipendiri Lippo Group, mengatakan, ia punya utang budi serta kewajiban moral untuk membantu mengentaskan kemiskinan di Tanah Air, terutama di wilayah pedesaan.
Ditambahkan, kesempatan untuk membalas budi itu datang ketika suatu hari Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengundang dan meminta masukan darinya soal pengentasan kemiskinan.
Tidak hanya memberikan konsep, dalam pertemuan itu Mochtar menawarkan solusi konkret pengentasan kemiskinan dan merintis proyek percontohan (pilot project) bersama Lippo Group di Boyolali, Jawa Tengah, dan juga di Cirebon, Jawa Barat.
Solusi yang ditawarkan Mochtar adalah menghadirkan ekonomi digital (digital economy) ke kantong-kantong kemiskinan di perdesaan, karena sebagian besar penduduk miskin terkonsentrasi di wilayah pedesaan.
Cara atasi kemiskinan
Mochtar, yang awal bulan ini menginjak usia 89 tahun, menegaskan, ekonomi digital ialah cara terbaik untuk mengatasi kemiskinan saat ini.
Penyebab utama kemiskinan petani ialah karena mereka menjual hasil produknya dengan harga rendah, tetapi belanja kebutuhan sehari-hari dengan harga lebih tinggi.
“Petani menjual hasil pertaniannya melalui mungkin empat sampai lima penengah (perantara), sehingga harga selalu jauh lebih murah daripada harga pasar. Namun, kalau petani membeli barang kebutuhan sehari-hari, itu melalui berbagai penengah juga sehingga akhirnya dia beli barang paling mahal. Itulah yang membuat petani itu menjadi miskin,” kata Mochtar dalam acara Bank Nobu dan OVO di Cirebon, Senin (28/5/18) awal pekan ini.
Mochtar lalu menjelaskan, siklus kemiskinan para petani. Untuk membeli pasokan barang, pemilik warung di desa harus ke kota dengan ongkos transportasi Rp20.000, sementara harga barangnya Rp200.000, sehingga biaya tambahan sudah mencapai 10 persen. Barang yang dia beli di kecamatan dipasok dari kabupaten, dan toko di kabupaten mungkin mendapatkannya dari ibu kota provinsi. Masing-masing tahap menghasilkan biaya tambahan.
“Dengan empat lapisan ini, maka suatu barang yang harga pokoknya katakanlah 100, sampai di pembeli di desa itu menjadi 160 sampai 165. Itulah yang membuat petani di desa makin melarat karena biaya ini yang memberatkan dia,” kata Mochtar.
Hilangkan harga mahal
Dengan ekonomi digital, penyebab ini akan hilang. Proyek yang dilakukan Lippo Group adalah mendirikan warung-toko yang memanfaatkan telepon seluler untuk bertransaksi, sehingga memangkas mata rantai pasokan dan memperkecil jarak produsen dan konsumen, yang pada akhirnya menurunkan harga.
Pilot project ini dilakukan dengan mendirikan Toko ONO dan sudah sukses diuji coba di Boyolali, dan sekarang Cirebon.
“Dengan toko-warung itu bisa jual dengan harga 115, jadi turun dari 165 menjadi 115. Ini sekitar 40 sampai 50 persen bisa meringankan beban petani di desa,” ujarnya.
Tahap selanjutnya, kata Mochtar, ialah perdagangan digital atau e-commerce, di mana petani bisa menjual barangnya dengan harga lebih tinggi tanpa perantara.
“Setelah itu kita akan menggunakan digital ini membantu para petani menjual hasil pertaniannya langsung ke Hypermart, ke toko-toko modern dengan harga yang lebih tinggi. Kalau ini bisa terwujud–menjual dengan harga tinggi dan membeli (kebutuhan) dengan harga murah–maka di situ petani-petani di desa langsung mempunyai surplus. Ini berarti bahwa pengentasan kemiskinan bisa terwujud. Inilah dahsyatnya dan manfaatnya ekonomi digital,” paparnya.
“Digital tidak boleh hanya melayani orang kota, tetapi digital harus masuk ke desa,” kata Mochtar.
Mochtar juga menjelaskan kenapa salah satu pilot project Toko ONO berada di Cirebon.
“Saya dilahirkan di Batu, dan dibesarkan di Malang. Maka saya punya utang budi kepada Tanah Air, Malang dan Batu. Mestinya hal ini pertama saya terapkan di Batu, Malang. Tetapi Bapak Menteri Enggar bilang ‘tidak, harus Cirebon’,” seloroh Mochtar, yang disambut tepuk tangan hadirin.
Pengenalan E-Commerce
Sebelum memperkenalkan e-commerce di perdesaan, Mochtar mengingatkan bahwa harus dipahami dulu pendekatan yang tepat agar benar-benar bermanfaat bagi warga desa.
Mochtar menjelaskan ada dua aliran besar dalam e-commerce di dunia.
Pertama, ang dirintis perusahaan Amerika, Amazon, yaitu dengan membuka toko di internet. Kedua, adalah yang dikembangkan Alibaba, perusahaan multinasional yang didirikan pengusaha Tiongkok, Jack Ma.
“Ini sifatnya berbeda. Kalau Amazon melayani orang-orang menengah ke atas, Jack Ma membangun pasar digital yang melayani semua orang,” kata Mochtar.
Disebutnya, konsep Alibaba ini yang bisa membantu pengentasan kemiskinan di Indonesia karena memberikan platform jual beli bagi semua orang dan memungkinkan para petani menjual produknya secara langsung kepada konsumen di mana pun berada.
Sedangkan Amazon hanyalah sistem jual beli satu arah di mana perusahaan itu yang menjual dan menguasai profit, sementara pelanggannya adalah semata-mata pembeli.
Agar e-commerce ini bisa masuk perdesaan, ada empat syarat yang harus dipenuhi.
“Pertama, infrastruktur telekomunikasi harus baik. Kedua, e-paymentharus baik,” kata Mochtar sembari memberi contoh sejumlah aplikasi pembayaran digital yang ada sekarang, seperti OVO.
“Ketiga, ini yang paling penting, di dalam pasar digital ini oleh karena si pembeli dan si penjual saling tidak kenal dan saling tidak melihat, maka si penjual mengatakan bahwa ‘si pembeli mesti bayar dulu baru saya kirim barang’. Si pembeli bilang ‘you mesti kirim dulu, saya melihat barangnya kalau memang benar dan cocok baru saya kirim uang’,” kata Mochtar.
“Dalam hal ini, Jack Ma berani mengatakan ‘saya jamin Anda boleh bayar, kalau nanti barangnya tidak cocok saya ganti uang kembali’. Jadi salah satu syarat yang paling penting adalah ‘menjamin’.”
“Keempat adalah logistik, bagaimana supaya bisa cepat dan murah. Itu membutuhkan efisiensi yang hebat. Kalau semua ini sudah ada, maka urusan pengentasan kemiskinan bisa terjadi.”
Distant diagnostic
Ketika e-commerce dan e-banking sudah masuk desa nantinya, sehingga yang harus dipikirkan kemudian ialah digitalisasi di sektor pendidikan dan kesehatan untuk makin meningkatkan kesejahteraan petani.
Dia mengusulkan adanya distant diagnostic atau pemeriksaan dokter jarak jauh agar para warga desa juga bisa dilayani oleh dokter spesialis.
“Saya mengharapkan di desa-desa, puskesmas itu menyediakan televisi, dan kalau dokter merasa tidak bisa menangani pasien, seyogyanya menggunakan televisi ini langsung untuk e-diagnostic,” kata Mochtar.
“Dokter spesialis bisa langsung membantu pasien-pasien, petani di desa. Bisa membantu mengetahui ini penyakit apa dan harus segera dikirim ke rumah sakit. Jangan sampai harusnya ke rumah sakit tapi dbiarkan saja. Kasihan pasien di desa itu,” ujarnya.
Hal serupa juga bisa diterapkan di sektor pendidikan. Mochtar memuji pemerintah yang telah membangun sekolah-sekolah di mana pun di Bumi Pertiwi ini, namun masalahnya adalah kurangnya guru yang kompeten.
“Kalau pendidikan secara digital juga masuk ke desa, masalah pendidikan yang tidak berkualitas bisa teratasi. Inilah manfaat digital,” kata Mochtar.
“Jadi kita masuk ke zaman ini, digital harus masuk ke desa, bukan digital untuk melayani orang kota. Kita utamakan digital masuk desa.”
Jangan pertanyakan relevansinya
Mochtar menegaskan ekonomi digital ialah tahapan tak terelakkan dalam perkembangan zaman sekarang ini, sehingga akan keliru besar kalau Indonesia masih sibuk mempertanyakan relevansinya.
“Digital adalah teknologi yang sudah begitu mature, begitu matang. Jadi kita sekarang bukan cerita teknologinya, kita cerita bagaimana memanfaatkan teknologi digital,” kata Mochtar.
Negara-negara maju sekarang bahkan sudah menapak tahapan baru teknologi, yaitu kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
“Negara-negara maju cerita soal AI, kalau sekarang kita baru cerita digital. Sebenarnya kita sudah tertinggal karena AI itulah hal yang baru, semua serbaotomatis.”
Untuk menguatkan pendapatnya, Mochtar berkisah tentang perusahaan taksi terbesar di Indonesia, Blue Bird, yang menguasai industri ini selama puluhan tahun.
Mochtar mengatakan betapa dia sangat mengagumi perusahaan itu, yang menurutnya mengelola sekitar 130.000 mobil dan puluhan ribu sopir.
“Saya kagumnya luar biasa karena bisa begitu tertib. Saya hanya mengatur satu sopir saja saya bisa dibohongi, dia bisa mengatur puluhan ribu sopir secara tertib,” selorohnya.
“Namun beberapa tahun yang lalu secara diam-diam Uber masuk, lalu Grab masuk, Go-Jek masuk, langsung (Blue Bird) goncang. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya (teknologi digital).”
“Maka siapa pun tidak bisa melupakan perubahan zaman yaitu sekarang kita masuk zaman ekonomi digital. Ekonomi digital ini adalah yang kita namakan sharing economy, kebersamaan.”
“Kalau perusahaan atau bangsa tidak sensitif terhadap perubahan teknologi, tidak sensitif terhadap perubahan ekonomi, tidak sensitif terhadap perubahan politik, maka ia akan runtuh,” demikian Mochtar Riady, seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’. (S-BS/jr)