Cikarang, 14/7/18 (SOLUSSInews) – Presiden Jokowi sesungguhnya telah mencanangkan proses pengurusan izin harus tuntas tiga hari dan jangan berlapis-lapis.
Namun ternyata situasi amat kontradiksi di lapangan, karena ratusan izin me jadi tembok birokrasi yang sulit ‘diterobos’ dengan mudah.
Faktanya, seperti dikemukakan ‘Founder’ dan ‘Chairman’ Lippo Group, Mochtar Riady, pihaknya mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan proyek kota baru Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Buktinya, Lippo membutuhkan hingga 136 cap atau stempel sebagai tanda mendapat izin untuk pembangunan megaproyek tersebut.
“Butuh 136 cap untuk pembangunan. Begitu sulit. Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) bilang semua izin tiga hari selesai, tapi ternyata tidak demikian,” ucap Mochtar sebagaimana dirangkum dari ulasan ‘Kompas.com’ yang tayang Kamis (12/7/18) di Jakarta.
Informasi tidak seirama
Mochtar Riady pun mengaku bingung dan kesulitan menghadapi birokrasi perizinan pembangunan suatu gedung, termasuk pada era otonomi daerah seperti saat ini.
Di satu sisim pihaknya mendapat informasi harus mengurus perizinan ke tingkat kabupaten. Tetapi di sisi lain ada pula informasi untuk mengurus izin ke tingkat provinsi.
“Misalnya kami bangun gedung di Cikarang, sejak 1991 sudah ada. Sekarang otonomi daerah, masalah ini urusan kabupaten, tapi ada yang bilang harus diurus ke gubernur,” kata Mochtar.
Harga murah untuk bantu rakyat
Mochtar pun mengeluhkan pemberitaan tentang dirinya itu disebabkan banyak orang yang kurang senang dengan pembangunan Meikarta, termasuk dari sisi harga jualnya yang relatif terjangkau.
Untuk suatu proyek properti di Indonesia, menurut dia, biaya pembangunannya secara umum sekitar Rp 9 juta per meter dan dijual Rp13 juta per meter.
Mochtar mengaku, karena niatnya untuk membantu pemerintah menyediakan perumahan memadai, dia menjual dengan harga di bawah biaya pembangunan, demi rakyat yang membutuhkan.
“Saya merasa kalau kami mau membantu pemerintah, kami menjual perumahan dengan harga yang lebih pantas. Maka kami menjualnya Rp6 juta per meter persegi. Apakah saya mau rugi? Tapi saya tidak untung banyak,” tuturnya.
Diserang karena jual murah
Mochtar menambahkan, itulah yang membuat pihaknya harus bisa mengatur supaya biaya pembangunannya lebih efisien.
“Biaya pembangunan Rp6 juta per meter persegi itu merugikan developer. Sebab, modal pokoknya Rp9 juta per meter persegi sehingga banyak orang kurang senang. Jadi isunya setumpuk, tiap hari ada berita saya,” keluh Mochtar.
Disebutnya lagi, semestinya penjualan tahap pertama harus dengan harga murah supaya semakin banyak orang yang mampu membeli. Sehingga kota yang dibangun itu menjadi ramai.
“Dengan demikian, suatu saat nanti pertumbuhan ekonomi di kota tersebut dan wilayah sekitarnya bisa ditingkatkan,” ujar Mochtar Riady, sebagaimana pula dilansir Wartakotalife.com. (S-KC/WK/jr — foto ilustrasi istimewa)