Jakarta, 11/12/18 (SOLUSSInews) – Sejalan dengan upaya untuk meningkatkan penyerapan minyak sawit atau crude palm oil di dalam negeri, Pemerintah menyiapkan tiga kilang milik PT Pertamina yang mampu mengolah CPO menjadi ‘bahan bakar minyak hijau’.
Di sisi lain, PT PLN dan Kementerian ESDM sedang membangun proyek pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) pertama menggunakan 100 persen crude palm oil (CPO) sebagai energi primernya.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Andriah Feby Misnah menuturkan, diversifikasi ke bioenergi ini dilakukan guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang mencapai 40 persen dari total bauran energi nasional.
Kementerian ESDM menargetkan pemanfaatan bioenergi ini dapat mencapai 13,8 juta kiloliter (kl) pada 2025.
‘Pilot project’ pengolahan CPO
Terkait itu, Kementerian ESDM telah menyiapkan sejumlah langkah untuk mencapai target tersebut. Salah satunya mendorong dilakukannya pilot project pengolahan CPO dan minyak bumi atau dual processing di kilang milik Pertamina.
Dilaporkan, ada tiga kilang yang disiapkan untuk pilot project ini yakni Kilang Plaju yang akan mengolah CPO menjadi green fuel, Kilang Dumai menghasilkan green diesel, dan Kilang Balongan memproduksi green avtur.
“Ini masih uji coba teman-teman ITB (Institut Teknologi Bandung). Katalisnya sudah ada. Coba dulu di kilang-kilang Pertamina. Kalau oke, 2022 komersialisasi. Karakternya mirip dengan fossil fuel,” kata Andriah di Jakarta, Kamis (6/12/18) lalu seperti dilansir Investor Daily.
Pertamina sendiri sebelumnya telah meneken nota kesepahaman (MoU) kerja sama terintegrasi dengan perusahaan migas asal Italia, ENI. Kerja sama itu salah satu untuk mengembangkan potensi kilang ramah lingkungan.
Dalam hal ini, Pertamina menggandeng ENI lantaran telah berhasil mengonversi kilang konvensional menjadi bio-refinery di Porto Maghera, Italia pada 2014, serta menjadi pelopor konversi kilang pertama di dunia.
Pertama di dunia
Sebagaimana dikutip dari laman resminya, ENI merupakan perusahaan migas pertama di dunia yang menghasilkan green diesel dari kilang miliknya, yakni ENI Venice Green Refinery.
Green diesel ini dihasilkan dari hidrogen murni, yakni hydrotreated vegetable oil (HVO), bukan methanol yang biasa digunakan untuk memproduksi biodiesel. Selain itu, Green diesel ini memiliki komposisi hydrocarburic penuh dan kandungan energi yang sangat tinggi.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya akan menjajaki potensi konversi serupa untuk pengembangan kilang di Dumai dan Plaju, mengingat kilang tersebut berdekatan dengan sumber bahan baku green fuel, yaitu kelapa sawit.
Dalam kaitan ini dan sebagai bentuk sinergi BUMN, Pertamina akan menjalin kerja sama dengan PTPN agar memperoleh pasokan kelapa sawit.
Pemerintah konsisten
Selanjutnya, Feby menambahkan, Pemerintah tetap konsisten menerapkan mandatori biodiesel 20 persen (B20). Sejak mandatori ini dimulai pada 2016, penyerapan fatty acid methyl ester (FAME) yang merupakan produk turunan CPO terus meningkat setiap tahun.
Pada tahun ini, serapan FAME ditargetkan mencapai 3,92 juta kiloliter (kl). Sementara tahun depan, serapan FAME diproyeksikan melonjak hampir dua kali lipat.
“Pada 2019 diharapkan (serapan FAME) 6,2 juta kl, setara penghematan devisa US$ 3,34 miliar,” tutur Feby.
Mandatori B20 ini, lanjutnya, akan ditingkatkan menjadi B30 mulai 2020. Pada tahun depan, pihaknya akan melaksanakan uji jalan (road test) untuk B30. Selain itu, pihaknya juga akan memperketat standar nasional untuk pencampuran FAME 30 persen dengan solar tersebut.
PLTD dari 100 persen CPO
Selain di sektor transportasi, Feby mengungkapkan, pemerintah juga mendorong PT PLN (Persero) untuk mengalihkan bahan bakar pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dari BBM fosil ke CPO. “Contoh beberapa sudah ada, tinggal dimasifkan,” ujarnya.
Menteri ESDM Ignasius Jonan sebelumnya mengungkapkan, PLTD masih digunakan untuk menerangi pulau-pulau terluar. Dia meminta dalam waktu dua tahun PLTD dengan kapasitas total mencapai 2.000 Megawatt (MW) tersebut menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakarnya.
“Pembangkit itu diubah jadi pembangkit minyak kelapa sawit bisa sampai 100 persen,” ujar Jonan.
Sedangkan Direktur Perencanaan PLN Syofvie Rukman mengungkapkan, pihaknya dan Kementerian ESDM sedang membangun proyek PLTD 100 persen menggunakan CPO di Belitung.
Ini menjadi proyek pertama yang menggunakan bahan bakar nabati (BBN) dan ditargetkan pada akhir tahun ini. Proyek ini akan menjadi acuan kajian penggunaan 100 persen CPO di PLTD lain.
Namun, dia belum bisa memastikan apakah akan ada investasi lagi untuk membeli mesin agar bisa menyerap 100 persen CPO.
“Kalau kami mau mengubah mesin yang ada sekarang untuk itu, ya saya butuh investasi baru. Tapi kalau ternyata saya butuhnya mesin baru, ya saya tinggal beli saja yang baru,” ujarnya.
PLN kini tengah melakukan kajian mengenai penggunaan CPO sebagai bahan bakar PLTD. Menurut Syofvie, kajian yang dilakukan itu mengenai pengaruh kualitas CPO terhadap mesin pembangkit dan tingkat efisiensinya. Dia berharap harga jual listriknya nanti sama dengan atau lebih murah dari pembangkit berbahan bakar gas.
“Ini kami masih kaji. Kami juga harus lebih tahu kandungan CPO seperti apa yang cocok sama mesin,” kata Syofvie.
Serapan minyak sawit
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, sepanjang Januari-Oktober 2018 serapan minyak sawit mencapai 39,21 juta. Rinciannya, untuk pasar ekspor berupa CPO sebanyak 4,91 juta ton dan produk turunan mencakup refined palm oil, lauric oil biodiesel, dan oleochemical sebanyak 23,44 juta ton. Sedangkan 10,85 juta ton lainnya untuk konsumsi domestik.
Sementara itu, total produksi CPO sepanjang Januari-Oktober 2018 tercatat sebesar 39,59 juta ton. Ditambah stok awal Januari 2018 sebanyak 4,02 juta ton, Gapki mencatat stok akhir pada Oktober 2018 sebesar 4,41 juta ton.
Pemanfaatan minyak sawit untuk bionergi dan bahan bakar pembangkit listrik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri yang memiliki dampak langsung kentara (quick wins) dalam menahan kejatuhan harga CPO di pasar internasional.
Menurut ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara, kebijakan quick wins ini yakni pemerintah menugaskan PT PLN untuk menyerap biodiesel dengan mengembangkan pembangkit berbahan bakar sawit.
“Pemerintah sudah bilang bahwa kondisi sawit Indonesia sudah emergency, sehingga apapun cara akan dilakukan. Bisa saja nanti PLN diberi subsidi, yang pasti APBN 2019 masih ada ruang penyertaan modal negara (PMN) lebih besar sehingga PLN mampu menyerap biodiesel lebih banyak,” jelas dia saat menjadi narasumber pada focus group discussion (FGD) bertajuk “Menahan Kejatuhan Harga CPO, Menyelamatkan Petani” yang diselenggarakan Investor Daily, Rabu (5/12/28).
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mendukung usulan untuk mendorong konsumsi sawit oleh PLN dengan mekanisme subsidi dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dia mengkalkulasi PLN mampu menyerap tambahan konsumsi CPO 2,5 juta ton. “PLN hanya butuh kepastian untuk cash flow, bahwa mereka akan mendapat subsidi ketika harga CPO tinggi,” kata Joko.
Joko juga berharap implementasi program B20 lebih optimal dan dilanjutkan ke B30. Lebih bagus lagi kalau bisa mewujudkan B100. Teknologinya ada, tinggal bagaimana Pertamina bisa segera investasi bikin refinery CPO. “Program B20 menyerap 6 juta ton setahun, ditambah PLN berarti 8,5 juta ton. Nanti kalau B30 jalan, serapannya bisa jadi 15 juta ton setahun,” kata Joko.
Peneliti BPPT Agus Kismanto juga mendorong CPO digunakan pada pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) milik PLN dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Juga mendorong Pertamina untuk memiliki kilang yang dapat memproses pengolahan CPO menjadi bahan bakar.
“PLN mungkin khawatir jika mau investasi untuk mesin-mesin yang kompatibel dengan biodiesel. Bagaimana kalau harga CPO mahal? Untuk itu, perlu intervensi pemerintah, termasuk adanya subsidi BPDPKS,” kata Agus.
Agus juga berpendapat, harga BBM ditentukan pemerintah berdasarkan keekonomian harga BBM energi baru terbarukan (EBT). Jika harga BBM fosil lebih rendah, pemerintah menetapkan pajak pada harga BBM fosil, sehingga BBM EBT tetap dapat menang bersaing.
Selain itu, lanjut dia, perlu juga menjajaki substitusi MFO (marine fuel oil) dengan CPO oleh PLN yang potensinya bisa mencapai 0,9 juta kiloliter. Peluang lain, PLTD berbahan bakar HSD diganti bahan bakarnya dengan CPO atau minyak goreng, potensinya bisa mencapai 2,9 juta kiloliter.
“Agar PLN tidak terbebani dengan program ini, biaya pilot plant, uji coba, dan perencanaan dibantu oleh BPDPKS. Begitu pula jika ada selisih harga antara BBM dan BBN,” ujarnya.
Sementara itu, untuk memastikan CPO terserap untuk bahan bakar, dia menyarankan Pertamina membangun kilang minyak yang mampu co-processing minyak bumi dengan CPO. “Dengan begitu dapat menyerap CPO sampai dengan 20 juta ton per tahun atau 340.000 barel per hari,” kata Agus.
Senada, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Edy Soetopo, juga mendorong peran PLN dalam menyerap sawit domestik diperbesar.
Disebutnya lagi, PLN harus dipaksa untuk menggunakan mesin-mesin pembangkit yang kompatibel dengan minyak sawit. Di sisi lain, Indonesia harus saatnya mengembangkan biofuel yang berbasis hidrokarbon yang mampu menghasilkan avtur dan green diesel.
“Meski investasinya besar, nanti kita bisa mengganti semua bahan bakar minyak dengan sawit. Kita sudah ada teknologinya, ITB dan Pertamina sudah mulai mengembangkannya,” jelas Edy Soetopo. (S-ID/BS/jr)
Catatan: artikel ini sudah terbit di harian Investor Daily edisi 7 Desember 2018.