Jakarta, 7/9/19 (SOLUSSInews) – Reaksi beragam muncul atas rencana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menjadikan trotoar sebagai tempat berjualan bagi pedagang kaki lima.
Sejumlah pengamat dan Anggota DPRD DKI Jakarta menyayangkan jika aturan ini benar-benar akan diterapkan.
Pengamat Tata Kota, Nirwono Joga mengatakan, selama ini undang-undang masih melarang trotoar digunakan untuk menampung pedagang kaki lima (PKL). Trotoar hanya digunakan untuk para pejalan kaki.
Nirwono memaparkan, selama Undang-Undang (UU) Nomor 38/2004 tentang Jalan dan UU Nomor 22/2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan masih berlaku, maka Pemprov DKI Jakarta dan seluruh Pemda se-Indonesia harus mematuhi karena ini terkait Undang-undang.
“Peraturan harus dipatuhi, tanpa kecuali atau dengan psyaratan apapun. Kalau Permen PUPR kan lebih rendah kedudukannya dari UU, jadi Permen yang yang harus direvisi. Penerapan ‘dengan syarat’ tidak mengganggu ruang minimal untuk berjalan kaki terbukti tidak efektif di lapangan bisa dilihat di Tanah Abang, Jatinegara, Pasar Senen, dan banyak tempat lainnya di Jakarta,” ujar Nirwono kepada Suara Pembaruan, Sabtu (7/9/19).
Lebih lanjut diungkap Nirwono, penerapan “dengan syarat” pada tempat-tempat tertentu juga tidak akan efektif, diskriminatif dan membuka celah pelanggaran akan diikuti dengan pelanggaran-pelanggaran lainnya di lain tempat di Jakarta.
Etalase Indonesia
Sebagai etalase Indonesia, lanjut Nirwono, bisa dibayangkan betapa semrawutnya trotoar yang sudah susah payah dan mahal dibangun pada akhirnya diokupasi PKL dan pejalan kaki tidak dapat jalan aman dan nyaman di trotoar yang sejatinya dibangun untuk berjalan kaki.
“PKL kita sulit untuk mematuhi aturan,” kata Nirwono.
Penggagas “Gerakan Ayo ke Taman” ini memiliki ide untuk menangani PKL yakni dengan mendata secara akurat jumlah dan jenis PKL oleh Pemprov DKI Jakarta, dinas terkait, asosiasi UMKM, asosiasi PKL. Data ini kemudian harus dikunci.
Kemudian, distribusikan PKL ke pasar rakyat terdekat, pusat perbelanjaan terdekat dimana mereka wajib menyediakan 10 persen lahan untuk menampung PKL seperti di Gandaria City, kemudian ke kantin gedung perkantoran yang ada berbagai jenis makanan minuman, atau diikutkan dalam berbagai kegiatan festival kesenian.
“Prinsipnya PKL tidak boleh berjualan di trotoar, tetapi Pemprov DKI Jakarta dapat mewadahi tempat berjualan seperti tersebut di atas sehingga tidak ada yang dirugikan dan tidak melanggar aturan. Jakarta ada Pergub 3/2010 tentang Pengaturan Tempat dan Pembinaan Usaha Mikro PKL. Tinggal diteruskan penerapannya saja,” papar Nirwono.
Ditegaskan Nirwono, apapun motif Anies sebagai gubernur harusnya mematuhi aturan hukum yang berlaku, dan setiap kebijakannya di Jakarta yang masih menjadi Ibu Kota Republik Indonesia ini harusnya menjadi contoh atau ditiru oleh kota-kota lain di Indonesia.
Zona ruang PKL
Pengamat Perkotaan Yayat Supriyatna mengungkapkan, jika ingin menata PKL, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan harus membuat zona tentang ruang PKL. Yakni, zona merah, kuning, dan hijau.
Zona merah sama sekali dilarang adanya PKL di trotoar. Sedangkan zona kuning, lokasi keberadaan PKL diatur waktu, tempat, jumlah dan kegiatannya. Misalnya di stasiun kereta seperti di Stasiun Gondangdia, Sudirman dan di kolong MRT atau di Pasar Baru. Selanjutnya kawasan hijau merupakan kawasan di mana PKL boleh berdagang permanen atau tetap yakni seperti di sky bridge di Tanah Abang.
Yayat mencontohkan di kawasan Malioboro, Yogyakarta di mana PKL bisa ditata dengan tertib dan berjualan pada malam hari. Namun mereka tertib dan terorganisir dengan baik.
“Kelembagaannya harus jelas. PKL-nya memakai seragam. Terdata dan berjualan dengan aneka ragam barang yang bervariasi. Jika akan diorganisir seperti ini, maka PKL juga harus terbebas dari oknum ormas di mana PKL rentan menjadi korban pemerasan,” tutur Yayat.
Ditegaskan dia, jika tanpa niat dan kelembagaan yang kuat dan tegas untuk mengatur PKL ini maka akan lebih baik bila tidak usah dilaksanakan rencana membolehkan PKL berjualan di trotoar.
Ide masih mentah
Menanggapi wacana izin PKL berjualan di trotoar, Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana menilai ide Anies masih mentah dan tak memiliki desain komprehensif.
William mengatakan, 80 persen kondisi trotoar di DKI Jakarta tidak dapat digunakan untuk berjualan oleh PKL.
Jakarta, kata William, tidak bisa disamakan dengan New York, di mana trotoar di sana tertata dengan baik dan jikapun terdapat PKL, mereka tak akan mengotori trotoar.
“Jakarta jangan dibandingkan dengan New York. Tidak apple to apple. Trotoar di New York sudah sangat memadai. Apalagi di sana PKL-nya tidak berjualan makanan berat. Berbeda dengan di Jakarta di mana sering kita temui para PKL berjualan makanan berat. Sehingga air pencucian, piring dan segala macamnya malah mengotori trotoar,” papar William.
Jika hal ini terjadi maka jelas yang akan dirugikan ialah para pejalan kaki di mana ruang mereka akan semakin terbatasi oleh okupasi PKL di lahan trotoar.
Dikatakan William, seharusnya ada tempat khusus dimana para PKL bisa berjualan tanpa menganggu kepentingan umum. Seperti misalnya di sky bridge. Namun nyatanya, kondisi Pasar Tanah Abang saat ini juga masih semrawut.
“PKL juga harus dilindungi. Jangan sampai mereka menjadi korban premanisme. Pak Anies harusnya melihat secara holistik keadaan di Jakarta karena kebijakan yang nanti dia buat akan berlaku di seluruh Jakarta. Tidak hanya di satu titik saja,” tutur William.
Anies belum memiliki konsep
Senada dengan William, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI lainnya, August Hamonangan menyayangkan jika wacana ini benar-benar jadi diterapkan di Jakarta. Disebut August, ini menunjukkan Anies belum memiliki konsep yang matang dalam menata Jakarta.
“Ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang jelas menyebutkan tidak boleh ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengizinkan PKL berjualan di trotoar. Harusnya kalau Pak Anies memiliki konsep matang maka dia akan patuhi putusan MA ini. Ini kan sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dimana peraturan harus dipatuhi,” ujar August.
Sebelum mengizinkan PKL berjualan di trotoar, lanjut August, maka Pemprov DKI Jakarta harus melakukan survey kelayakan terhadap seluruh trotoar yang direncanakan akan digunakan untuk berjualan.
Selanjutnya, kata August, dapat ditetapkan satu titik sebagai pilot project di mana lokasi itu akan terus menerus dipantau selama beberapa bulan apakah bisa berjalan dengan baik PKL di trotoar. Apakah tidak menggangu kepentingan umum dan tentunya kenyamanan pejalan kaki saat akan menggunakan trotoar tersebut.
“Pemprov DKI Jakarta juga dapat berkonsultasi dengan kami sebagai mitra. Semua masukan harus ditampung. Tidak hanya dari sektor perangkat daerah tapi juga dari jajaran legislatif,” kata August.
Satuan Polisi Pamong Praja yang selama ini bertugas untuk menegakkan Perda nantinya, lanjut August, akan mengalami logika terbalik dimana selama ini Perda ataupun aturan yang lebih tinggi diatasnya melarang PKL berjualan di trotoar. Sedangkan nantinya jika aturan ini diterapkan maka ketika PKL berjualan di trotoar, Satpol PP justru harus dilindungi.
“Seharusnya masyarakat diajak mematuhi aturan dan menaati hukum yang berlaku. Kalau seperti ini kan kesannya jadi seperti mengajak masyarakat melanggar hukum. Bukannya menjunjung tinggi penegakan hukum,” papar August Hamonangan. (S-SP/BS/jr)