CATATAN TENGAH (Cateng) Derek Manangka*)
Edisi Kamis 6 April 2017
Jakarta-CS, 6/4/17 (BENDERRA/SOLUSSI): Sebetulnya saya tidak terlalu tertarik membahas soal Putaran Kedua Pilkada DKI Jakarta. Sama halnya dengan eksistensi dan manfaat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
Alasannya banyak. Yang kalau diurai di sini terlalu panjang, memakan waktu untuk menulisnya.
Selain itu belum tentu ulasannya menyenangkan bagi pihak-pihak yang punya kepentingan langsung di Pilkada DKI dan DPD RI.
“Jangan sampai saya tertarik menulis Pilkada DKI dan DPD RI. Mimpi pun kalau bisa jangan terjadi”, begitu janji saya dalam hati, untuk menegaskan sedemikian kuatnya tekad tersebut.
Janji itu saya niatkan karena sangat berharap, konsentrasi saya dalam mengarungi kehidupan baik pribadi maupun profesional, tidak terganggu.
Sama dengan alasan saya memutuskan untuk keluar dari semua Grup WA. Saya tidak ingin diganggu oleh postingan-postingan yang isinya didominasi oleh persoalan seakan-akan Indonesia saat ini sedang berada di tepi Perang Saudara.
Tapi tiba-tiba semuanya berubah. Ketika sedang berada di peraduan malam, saya terbangun, setelah sebelumnya berdebat dengan Eep Saefulloh Fatah dan OSO (Oesman Sapta Odang).
Eep penasehat politik pasangan calon nomor 3, Anis – Sandiaga. Eep disebut-sebut sebagai penyebab dari batalnya debat paslon 2 dan 3 di Kompas TV, pekan ini.
Sementara OSO, Ketua Umum Partai Hanura yang hari Selasa lalu dilantik sabagai Ketua DPD RI.
Keberadaan OSO di DPD RI, cukup kontroversil. Sebab keanggotaan DPD, tidak boleh dari unsur partai. Sementara OSO menjabat sebagai Ketua Umum Partai Hanura.
Keterpilihan OSO sebagai Ketua DPD RI, juga sami mawon. Dia tidak dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung sebagaimana amanat UU. Selain itu, dia dilantik berdasarkan hal yang bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung sendiri. Wuih ribet ceritanya.
Entah di mana lokasinya kami bertemu. Yang pasti, pertemuan dengan kedua figur tersebut berbeda tempat.
Dalam mimpi itu, kepada Eep saya tanyakan, kenapa dia memberi saran politik kepada peserta Pilkada – hal yang bisa menimbulkan konflik kebangsaan ?
Mengapa dia sebagai konsultan politik, menyarankan kepada Paslon 3, untuk menggunakan isu yang bisa menimbulkan pergesekan antar warga yang berbeda etnis dan agama ?
Saya bertanya demikian, karena sesuai rekam jejaknya selaku pemilik dari lembaga survei Polmark, Eep seorang yang sadar kebangsaan.
Ia selalu cerdas dalam memberi saran politik. Cerdas dalam arti, tidak menggunakan isu SARA atau sektarian.
Kecerdesan Eep itu membuat saya bertambah kagum padanya.
Kekaguman saya terhadap Eep, sudah lama terjadi. Berawal dari tulisan-tulisannya yang sering dimuat di harian KOMPAS, yang mencerminkan dia sangat berwawasan.
Lebih dari dua puluh tahun lalu atau sekitar 1996, saya sudah cukup terkesan dengan wawancaranya soal politik di Radio Trijaya FM. Di radio milik keluarga Cendana itu – di mana saya salah seorang pengasuh “talk show” di situ, Eep menjadi salah seorang nara sumber pilihan populer.
Dari tulisan-tulisannya di media cetak dan pandangannya di radio ketika itu, saya punya kesimpulan sepihak, Eep merupakan intelektual muda Islam yang memiliki pemikiran-pemikiran jernih. Gagasan-gagasan segarnya tentang Indonesia sebagai rumah bagi semua anak bangsa, sangat menarik.
Dan saya kira Eep tahu kekaguman saya terhadapnya. Bahkan termasuk isterinya, Sandrina Malakiano, mantan presenter Metro TV, sadar dan tahu akan hal itu.
Kekaguman saya kepada pasangan ini, bertambah-tambah. Setelah keduanya mengasuh lembaga survei Polmark.
Lembaga ini dalam waktu singkat berhasil menjadi sebuah penasehat politik terpercaya. Kepercayaan, membuat Polmark mendapatkan banyak klien. Ini sebua keberhasilan secara bisinis dan keberhasilan ini membuat kehidupan ekonomi rumah tangga baru Eep dan Sandrina, berubah drastis.
Mereka bukan hanya menjadi konsultan politik, tetapi juga pebisnis. Salah satu bisnis yang mereka geluti adalah rumah minum kopi atau kafe.
Beberapa kali saya bersama beberapa teman, di antaranya wartawan segenerasi, minum di kafe milik mereka yang berada di Citos. Tempatnya strategis dan interior designnya sangat menarik.
Eep pernah menawarkan saya mencoba satu kafenya lagi di BSD Junction, Tangerang Selatan. Tapi sampai saat ini saya belum sempat mencobanya.
Pendek kata, Polmark sebagai sebuah entity bisnis, sudah cukup berhasil dalam waktu yang relatif singkat. Dengan keberhasilan itu, Eep dan Sandrina tidak lagi dalam posisi – mengejar target atau argometer. Secara ekonomi mereka sudah hidup berkecukupan.
Mereka juga mengukir nama baik. Entah sudah berapa banyak putera daerah yang menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota yang keberhasilan mereka antara lain karena peran Eep dan Sandrina lewat Polmark.
Pilkada DKI Jaya 2012 dimana pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama menang, antara lain diperani oleh Eep dan Sandrina. Dan Eep, saya tahu, sangat bangga atas keberhasilan itu.
Tapi entah mengapa dalam Pilkada 2017 ini, Eep berpindah klien. Eep tidak lagi membantu Basuki Tjahaja Purnama, seperti lima tahun lalu.
Pertemuan terakhir kami terjadi tahun lalu di sebuah kantor di bilangan Patal Senayan, Jakarta Selatan. Tepatnya, di sebuah kantor milik Luhur Bersaudara, dua pemuda keturunan Tionghoa, asal Medan, Victor dan Whitlam Luhur.
Saat itu Eep sedang menjual gagasan kepada Wawan Iriawan, politisi Nasdem yang ingin maju dalam Pilkada Gubernur Banten dan didukung oleh kedua pengusaha muda tersebut.
Wawan yang berprofesi pengacara itu, akhirnya tidak jadi maju.
Tapi bukan soal tidak jadi majunya Wawan Iriawan yang jadi bahasan. Melainkan cara Eep memberi saran dengan didahului oleh analisa dan peta politik daerah Banten.
Uraiannya sangat profesional dan berbasis intelektual yang berkualitas .
Hal mana sangat berbeda dengan apa yang dia lakukan di Pilkada DKI 2017.
Dalam mimpi itu saya kritik Eep karena telah mendorong Paslon 3 menggunakan tema kampanye “Jakarta Bersyariah”.
Di mata saya “Jakarta Bersyariah” secara filosofis nafasnya sama dengan “Piagam Jakarta”.
Saya kaget bukan karena takut syariah Islam diberlakukan di Jakarta. Tapi saya bingung, koq “Piagam Jakarta” yang secara politik sudah disepakati lebih dari 71 tahun lalu, untuk tidak diberlakukan, mengapa di era sekarang mau dihidupkan ?
Juga bukan karena saya memiliki isteri beragama Islam dan sudah naik haji, lalu takut dipaksa masuk Islam.
Tapi Indonesia dan Jakarta sebagai tempat bagi semua orang yang berbeda-beda, agama, suku dan lain-lain, sudah lama disepakati.
Bung Hatta sendiri, seorang pemeluk Islam, Proklamator bersama Bung Karno, sebelum meninggal 14 Maret 1980, telah menulis wasiat. Dokumen pribadi itu dibuka keluarga, sesuai pesan, menjelang pemakamannya.
Isinya dibacakan dan membuat semua yang tidak tahu sejarah, menjadi paham : mengapa Indonesia tidak menerima “Piagam Jakarta”.
Artinya kesepakatan untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai sebuah Negara Islam, disepakati oleh semua unsur, termasuk para pemeluk agama Islam sendiri.
Tapi esensi dari alasan itu bukan soal siapa yang benar dan siapa yang salah atau ada apa dengan persoalan perbedaan. Yang jadi kepedulian adalah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Lantas mengapa Eep sebagai seorang intelektual Islam, seolah tidak paham tentang sejarah Indonesia ?
Yang sangat saya pedulikan, kampanye untuk menjadikan “Jakarta Bersyariah” bakal menyudutkan kehidupan kelompok minoritas.
Saya sadar, untuk ukuran Jakarta, jumlah orang minoritas seperti saya yang sering disebut “double minority complex”, dalam hitungan random, jumlahnya tidaklah sedikit.
Kalau dibuat hitung-hitungan kasar, dari pemilih sebanyak 7,2 juta, demografi anggota minoritas yang beretnis Manado, Batak, Ambon, NTT, Chinese serta etnik lainnya, bisa jadi signifikan. Hitung-hitungan ini didasarkan pada kantong-kantong penyebaran penduduk di ibukota.
Saya ambil contoh pengembara asal Manado daerah dimana saya dilahirkan. Ada pameo yang mengatakan jumlah orang Manado yang merantau di Jakarta, lebih banyak dari mereka yang tidak merantau.
Etnis Manado di daerah Sulawesi Utara saat ini, lebih dari satu juta orang.
Mereka yang merantau di ibukota, termasuk dalam kategori masyarakat yang akan dirugikan dengan program “Jakarta Bersyariah”.
Saya juga membaca sejarah bahwa ketika “Piagam Jakarta” ditolak, itu terjadi karena protes dari anggota panitia persiapan kemerdekaan RI, A.A. Maramis (putera asal Manado) dan Johannes Latuharhary (Ketua Jong Ambon).
Maksudnya lebih dari tujuh dekade lalu, putera Indonesia beretnis Manado (dan Maluku), sudah berani bersikap.
Seandainya isu sektarian ini tidak dihembuskan, bagi saya, Anis-Sandiaga menang, fine-fine saja.
Tapi masalahnya menjadi berbeda karena penyebaran isu kontra produktif ini. Dan saya menilai, Eep sebagai seorang terpelajar, tidak berperan konstruktif.
Saya kecewa dan bertambah keecewa sebab dalam mimpi itu Eep hanya senyum saja. Dalam mimpi itu, isterinya yang cantik tidak hadir.
Sadar atau tidak, anda sebetulnya tidak beda dengan orang luar yang ingin menciptakan Indonesia sebagai sebuah “Republik Pisang” atau “Banana Republic”.
“Sebagai seorang terpelajar dan berwawasan saya yakin Anda tahu apa dan bagaimana bentuk sebuah negara Republik Pisang”, ujar saya.
Meminjam kata-kata Anies Baswedan, saya akhiri debat itu secara sepihak dengan mengatakan : ingat ungkapan tentang Tenun Kebangsaan.
“Siapapun yang menang dalam Pilkada 2017, anda sudah merusak Tenun Kebangsaan”.
Saya terbangun, tidak sempat melayani OSO yang sudah siap-siap mendebat.
Saya tulis petikan cerita mimpi itu. Saat suara adzan dari mesjid di dekat tinggal saya, sudah terdengar, mimpi yang saya jadikan tulisan, selesai. Tanda waktu sudah pukul 04:00 WIB.
Saya ingin tidur lagi, berharap tak akan ada mimpi menganggu. *****
*) Penulis adalah jurnalis senior yang berkiprah di dunia kewartawanan sejak era 1970-an hingga kini — antara lain pernah jadi Reporter lalu Redaktur Sinar Harapan, Redaktur Eksekutif Prioritas dan Media Indonesia, Pemimpin Redaksi RCTI yang kemudian melahirkan Koran Sindo.