Jakarta, 24/9/17 (SOLUSSInews) – So pasti, setiap pengusaha semestinya pernah berurusan dengan perizinan.
Ya, entah pengurusan izin sederhana hingga kompleks. Mungkin pula ada yang sudah masygul ketika mendengar kata tersebut, apalagi jika disuruh mengurusnya.
Hmmm, suka tidak suka perizinan masih menjadi persoalan bagi negara berpenduduk sekitar 250 juta penduduk ini.
Padahal, mudah tidaknya perizinan amat menentukan iklim investasi suatu negara. Jika perizinan rumit dan berbelit-belit masih menghantui, investor bisa saja hengkang atau ogah menanam modalnya.
Berdasarkan Laporan Bank Dunia, pada 2017 ini Indonesia berada di peringkat 91 dari negara-negara di dunia dalam hal kemudahan berbisnis (ease of doing business). Peringkat Indonesia masih berada jauh di bawah negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Singapura.
Perizinan properti rumit
Di Indonesia, properti termasuk dalam sektor dengan perizinan yang dipandang rumit. Sebut misalnya, dalam hal membangun rumah.
Kondisi itu sebagaimana diungkapkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia (REI), Soelaeman Soemawinata di sela-sela Indonesia Future City and REI Mega Expo 2017 di Indonesia Convention Center, BSD City, Banten, Kamis (14/9/17) lalu.
Sebagaimana dilansir ‘KompasProperti’, pergelaran itu terlaksana melalui kerja sama Kompas Gramedia dan Dyandra dengan REI serta Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi). Pameran yang menawarkan beragam alternatif produk properti itu berlangsung hingga 24 September mendatang.
Soelaeman mengatakan, kendala perizinan di bidang perumahan masih kerap terjadi, meskipun pemerintah telah mencanangkan Program Sejuta Rumah pada 2015 lalu.
Kesulitan mengurus izin terutama dialami pengembang-pengembang di daerah. Proses perizinan bisa memakan waktu satu tahun, bahkan lebih.
Disebut pria yang akrab disapa Eman itu, pemerintah memang telah berusaha menyederhanakan regulasi, contohya melalui kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
“Kami memantau sudah banyak kepala daerah yang komitmen menyederhanakan perizinan, tetapi belum ada tindak lanjut dalam bentuk perda (peraturan daerah),” ujarnya.
Perda tersebut diperlukan sebagai tindak lanjut implementasi PP Nomor 64 Tahun 2016. “Mungkin proses penerbitan perda lama karena harus dibahas dengan DPRD,” imbuh Eman.
Ia memastikan, REI selalu siap memberikan usulan ke pemerintah untuk standardisasi perizinan agar lebih mudah ke depannya.
“Kami juga rutin melakukan pemetaan dan pendataan untuk mengecek kondisi pelayanan perizinan di seluruh wilayah kerja DPD REI,” katanya lagi.
Laporan ke Presiden
Pemetaan itu mencakup informasi pelayanan yang berkaitan dengan sektor perumahan rakyat antara lain perizinan pemda, pertanahan, perbankan, listrik, air bersih, dan lain-lain. Data itu nantinya akan menjadi bahan laporan REI secara periodik, baik kepada menteri terkait maupun langsung kepada Presiden Joko Widodo.
Mengacu data Badan Pusat Statistik pada 2015, angka kebutuhan hunian yang belum terpenuhi (backlog) di Indonesia mencapai 11,4 juta. Artinya, terdapat 11,4 juta rumah tangga di Indonesia, baik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun non-MBR yang belum memiliki hunian sendiri.
Selain fakta tersebut, Eman melanjutkan, pertumbuhan penduduk Indonesia cukup pesat. Sekitar tiga juta bayi lahir setiap tahunnya. Itu berarti diperlukan langkah strategis menciptakan hunian baru untuk mendukung pertumbuhan penduduk tersebut.
Karena itu, tambahnya, REI berusaha turut menyukseskan Program Sejuta Rumah. Hingga akhir tahun ini, REI menargetkan pembangunan 200.000 unit rumah rakyat. Per Agustus lalu tercatat sudah terbangun sekitar 100.000 unit.
“Optimistis (memenuhi target),” ujar Eman yakin.
Presiden minta diadukan
Sebagaimana diwartakan Kompas.com, Jumat (11/8/17), Presiden Joko Widodo meminta para pengembang untuk mengadu kepada dirinya, jika pemerintah daerah masih lamban mengeluarkan izin perumahan.
“Tolong nanti untuk REI, yang masih susah izinnya, yang masih belum dipangkas, tolong diberitahukan kepada saya. Langsung saya telepon gubernur, bupati dan wali kotanya,” ujar Presiden.
Jokowi mengatakan, persoalan perizinan dalam industri properti memang masih menjadi persoalan besar di Indonesia.
Mantan Walikota Solo itu mendengar masih ada pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi yang lamban dalam mengeluarkan izin perumahan.
“Saya kira sudah kuno sekali kalau mengurus izin sampai harian. Apalagi sampai mingguan, lebih kuno lagi. Apalagi sampai bulan, sangat kuno sekali. Malu-maluin lah kalau izin sampai berbulan-bulan. Sudah enggak zamannya,” ujar Jokowi kala itu.
Mendagri sorot Pemda
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengakui, masih ada Pemda yang belum sepenuhnya menjalankan arahan pemerintah pusat untuk mempermudah proses perizinan, termasuk izin perumahan.
“Masalah izin perumahan terdiri dari sejumlah aspek, misalnya birokrasi lambat, biaya tinggi dan tidak transparan sehingga membuka peluang pungutan liar, dan sebagainya,” ungkapnya dalam pidato pembukaan Indonesia Future City and REI Mega Expo 2017.
Padahal, kata Tjahjo, kepastian perizinan amat krusial mengingat pembangunan infrastruktur merupakan prioritas utama pemerintahan Jokowi-JK.
“Pemda jangan menghambat investasi perumahan. Secara prinsip, investasi di daerah harus didukung penuh,” tegasnya.
Sementara Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Airin Rachmi Diany memastikan, seluruh anggotanya berkomitmen untuk menyederhanakan perizinan di daerah sebagai upaya menyukeskan Program Sejuta Rumah. (S-KP/KC/jr — foto ilustrasi istimewa)