Oleh Derek Manangka *)
…Siapa dia, Capres sohibnya Presiden Trump? **)
JAKARTA – Dua puluh tahun lalu, Siti Hardijanti Rukmana alias Mba Tutut dan adiknya Bambang Trihatmodjo – keduanya anak Presiden Soeharto, tergolong ‘raja kecil’ di bisnis media di Indonesia.
Mba Tutut pendiri dan pemilik Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan tabloid Wanita. Sementara Bambang Tri memiliki televisi RCTI atau Rajawali Citra Televisi Indonesia.
Selain di media televisi, mereka juga merambah ke bisnis broadcasting radio.
Mba Tutut selain pemilik media, dia juga memimpin organisasi PRSNNI (Persatuan Radio Swasta Niaga Nasional Indonesia), selaku Ketua Umum.
Kalau tidak keliru Mba Tutut bisa menjadi Ketua Umum PRSNNI, karena di saat yang sama dia sudah memiliki sebuah stasiun radio berindentitas dangdut. Sementara Bambang Tri mengakusisi Radio Trijaya 104,7 FM.
Sekalipun kiprah mereka di dunia media masih belum setara dengan kelompok raksasa Kompas/Gramedia, tetapi sebagai pendatang baru di bisnis media, eksistensi mereka sudah langsung diperhitungkan dan menyebar pengaruh.
Terutama karena di zaman Orde Baru ketika itu, tidak semua yang punya kapital bisa terjun di bidang bisnis media. Tidak semua yang punya idealisme bisa mendapat kesempatan mendirikan media.
Bisnis media saat itu tak ubahnya dengan sebuah ‘bisnis politik’.
Tanpa izin dari Menteri Penerangan, tak mungkin orang bisa mendirikan dan memiliki media.
Tanpa perubahan UU Politik, tak mungkin ada yang bisa mendirikan sebuah partai politik baru.
Di era Orde Baru itu hanya tiga partai politik yang boleh eksis : Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI.
Puas dan tidak puas atas kinerja ketiga parpol tersebut, hanya kepada mereka saja, aspirasi politik rakyat Indonesia bisa disalurkan,
Singkat kata memiliki media di era dua dekade lalu itu, tidak segampang seperti di era sekarang, pasca reformasi.
Di sisi lain, kehadiran Mba Tutut dan Bambang Tri dalam dunia bisnis media, telah memunculkan spekulasi.
Spekulasinya adalah kelak Mba Tutut dan Bambang Tri akan menjadi raja media. Selain itu opini apapun tentang pemerintahan Orde Baru bakal diformat dan diframing oleh media-media milik mereka berdua.
Status dan predikat mereka sebagai raja media yang sesungguhnya, hanya menunggu waktu saja.
Spekulasi itu didasarkan pada konstalasi bisnis dan politik. Kekuasaan yang sedang berada di tangan orang tua mereka (Presiden Soeharto), cukup protektif dan pengaruhnya lebih berpihak kepada Mba Tutut dan Bambang Tri.
Ditambah sikap Menteri Penerangan Harmoko yang cenderung menerapkan peraturan di bisnis media atas faktor “like” dan “dislike”, membuat keberpihakan Presiden Soeharto kepada anak-anaknya, makin kuat.
Posisi tawar Mba Tutut dan Bambang Tri tambah menguat.
Paralel dengan eksistensi dua kakak beradik keluarga Cendana itu, dalam perspektif yang berbeda, di era yang sama mulai muncul seorang pengusaha muda bernama Hary Tanoesoedibyo atau Hary Tanoe. Saat itu pengusaha asal Surabaya ini baru mulai merambah ke bisnis di pasar modal.
Perbedaannya, dua puluh tahun lalu itu, Hary Tanoe hampir tak ada yang mengenalnya sebagai pebisnis potensial. Dia tidak masuk dalam daftar sebagai salah seorang terkaya di Indonesia.
Padahal ketika itu Hary Tanoe sudah memiliki PT Bhakti Investama – perusahaan yang bergerak di bidang jual beli saham di Bursa Efek Jakarta.
Kini situasi dua puluh tahun itu berubah drastis.
Sejalan dengan lengsernya Presiden Soeharto dari kekuasaan, di tahun 1998, kepemilikan media oleh Mba Tutut dan Bambang Tri, juga berubah atau berakhir. Kedua anak bekas Presiden RI tersebut tak lagi memiliki media.
Media-media yang tadinya mereka miliki, kini berpindah ke tangan Hary Tanoe.
Porto folio mereka dalam dunia bisnis dan politik, ikut berubah atau agak tenggelam.
TPI dan RCTI, kini menjadi milik Hary Tanoe. Radio Trijaya 104,7 FM, juga diakusisi Hary Tanoe, menyatu dalam perusahaan konglomerasi media MNC (Media Network Consolidated).
Keberhasilan Hary Tanoe menguasai media-media milik Mba Tutut dan Bambang Tri, bisa dibilang berlangsung tanpa pertanyaan apalagi gugatan. Sekalipun tetap mengejutkan banyak kalangan.
Sebab bagaikan sebuah manuver, langkah Hary Tanoe seperti sebuah reformasi atas dominasi dan kepemilikan media oleh kroni Soeharto.
Di level pertama, cara Hary Tanoe mengakhiri dominasi Mba Tutut dan Bambang Tri atas media-media di atas, diam-diam menyisakan decak kagum ataupun apresiasi terselubung.
Bagaimana tidak ? Hary Tanoe yang dikenal BUKAN sebagai pebisnis papan atas, tiba-tiba menjelma sebagai seorang konglomerat baru. Dia menjadi satu-satunya pebisnis muda yang mampu menggeser Mba Tutut dan Bambang Tri dari eksistensi mereka di bisnis media.
Penjelmaan Hary Tanoe juga mengesankan. Sangat “low profile”. Menyiratkan sebuah perspektif baru dalam cara mengakusisi perusahaan media, telah hadir.
Sebab bisnis media itu sendiri, boleh dibilang sebuah entity – yang salah satu cirinya, menggunakan pakem bisnis yang “high profile”.
Khusus masuknya Hary Tanoe di RCTI misalnya dipandang sebagai sebuah kejutan yang cukup besar.
Sebab dengan menguasai RCTI, hal itu sama dengan sebuah keberhasilan dalam menggeser orang-orang kuat di dunia bisnis yang diproteksi oleh rezim Orde Baru.
Peter Sondakh mitra bisnis Bambang Tri misalnya merupakan pemilik grup berbendera “Rajawali”. Peter Sondakh sendiri pada waktu itu sudah tergolong pebisnis tangguh. Selain menjadi pemilik saham mayoritas di perusahaan rokok Bentoel, Peter juga yang menghadirkan perusahaan penyedia layanan telpon nirkabel, “XL”. Jadi tidak bisa dipandang dengan sebelah mata.
Ketika Peter Sondakh bergandengan dengan Bambang Tri selaku pendiri grup “Bimantara Citra” – untuk mendirikan “Rajawali Citra Televisi Indonesia” (RCTI), kemitraannya itu bisa terjadi atas dasar bahwa keduanya sudah ‘raksasa’. Keduanya sudah berstatus sebagai konglomerat.
Sementara Hary Tanoe belum lagi masuk ke tataran konglomerat.
Bagaimana kisah “Rajawali Citra Televisi Indonesia” akhirnya menjadi milik Hary Tanoe, merupakan sebuah cerita menarik tersendiri. Yang terlalu panjang dan rumit jika disatukan dalam tulisan ini.
Yang pasti reaksi mengejutkan pun bertambah. Karena pada akhirnya Hary Tanoe tidak hanya berhasil menguasai RCTI. Tapi sekaligus mengambil alih PT Bimantara Citra, induk perusahaannya.
Pergerakan bisnis atau kalau boleh disebut sebagai manuver Hary Tanoe, tidak berhenti di penguasaan atas RCTI dan Bimantara Citra saja.
Masih di era yang sama Hary Tanoe berperkara dengan Mba Tutut dalam kepemilikan di televisi swasta lainnya, Televisi Pendidikan Indonesia atau TPI.
Hary Tanoe akhirnya keluar sebagai pemenang. Sementara Mba Tutut menjadi pecundang.
Kekalahan Mba Tutut dari Hary Tanoe memberi perspektif baru bahwa era rezim Orde Baru, dinasti Cendana, sudah berakhir. Hary Tanoe menjadi manusia Indonesia pertama yang mampu menaklukkan keluarga Cendana.
Tidak heran jika kemenangan Hary Tanoe atas Mba Tutut dan Bambang Tri, mulai dilihat seperti sebuah gebrakan Hary Tanoe di dunia politik.
Artinya, Hary Tanoe tidak lagi boleh dipandang hanya sebagai seorang pebisnis semata. Hary Tanoe harus dilihat sebagai pengusaha yang merangkap politikus.
Soalnya kalau bicara politik, Mba Tutut dan Bambang Tri, juga seseungguhnya politisi. Mereka berdua dua puluh tahun lalu itu juga sudah dikenal sebagai politisi Golkar, partai penguasa di era Orde Baru.
Kalau disederhanakan, dalam waktu yang relatif singkat, kurang dari 20 tahun, Hary Tanoe berhasil mematrikan dirinya sebagai politikus yang patut diperhitungkan.
Jati diri Hary Tanoe sebagai politikus, semakin mengental, ketika pasca Pilpres 2014, tepatnya di awal 2015, ia mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Kini Perindo, sekalipun belum pernah masuk kontestasi Pemilihan Umum tapi oleh Hary Tanoe sudah dijadikan sebagai kendaraan politik.
Yang paling baru, ketika pekan lalu Hary Tanoe mendeklarasikan dukungannya dan Perindo terhadap paslon nomor 3 dalam Putaran Kedua Pilkada DKI Jalarta.
Dukungannya terhadap Anies – Sandiaga untuk menjadi pemimpin Jakarta, semakin mempertegas sinyal. Bahwa Hary Tanoe sedang atau tengah memanfaatkan momen Pilkada DKI sebagai uji coba dalam usahanya menuju ke ‘Pilkada” yang lebih tinggi. Yaitu Pemilihan Umum Presiden atau Pilpres tahun 2019.
Karena sebelum ini, di tahun 2014 ketika masih bergabung dengan Partai Hanura, Hary Tanoe juga sudah sempat mendeklarasikan keinginannya menjadi penguasa papan atas.
Bersama Wiranto yang mencalonkan diri sebagai Presiden, Hary Tanoe menjadi Calon Wakil Presiden.
Bahwasanya Hanura gagal, mencalonkan pasangan Wiranto-Tanoe, hal itu tak menjadi kendala bagi Hary Tanoe. Karena dengan cepat dia loncat keluar dari Partai Hanura, bergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP) pimpinan Prabowo Subianto, sebelum akhirnya mendirikan Perindo.
Tetapi di saat yang sama Hary Tanoe juga memaksimalkan jaringan bisnisnya dengan Donald Trump, pengusaha yang Nopember 2016 lalu terpilih sebagai Presiden Amerika Setikat.
Tidak ada yang tahu, apakah setelah Donald Trump menjadi Presiden AS, lalu ada deal baru di antara mereka berdua.
Katakanlah misalnya Trump akan membantu Hary Tanoe menjadi Presiden RI lewat Pemilu Presiden 2019 mendatang.
Donald Trump sendiri saat ini masih menghadapi banyak kendala di dalam negerinya.
Kendala itu berupa penentangan di dalam negeri atas kebijaksanaannya memerangi “Islam Radikal” yang ada di Amerika Serikat.
Trump antara lain berrencana mendeportasi penduduk Amerika yang beragama Islam. Sementara di AS sendiri kita kenal cukup banyak masyarakat asal Indonesia yang beragama Islam dan tidak sedikit di antara mereka yang sudah lama menetap di negeri paman Sam tersebut.
Sikap Trump ini sendiri cukup paradoks dengan posisi Hary Tanoe di percaturan politik Indonesia.
Sebagai pengusaha dan politisi, Hary Tanoe yang pemeluk agama Kristen, sempat dimusuhi oleh pemimpin Front Pembela Islam.
Tapi tuntutan politik yang diperlukannya harus ada dari kalangan Islam, maka mau tak mau dia harus bersahabat baik dengan siapapun. Termasuk yang memusuhinya. Apalagi Hary Tanoe bercita-cita ingin menjadi Presiden RI.
Inilah yang terjadi antara lain dalam kipranya di Putaran Kedua Pilkada DKI.
Hary Tanoe mau tak mau harus memilih. Dia akhirnya memutuskan memberi dukungan kepada Anies – Sandiaga, paslon yang Islami dan didukung oleh FPI.
Sekalipun dia WNI keturunan Tionghoa seperti Ahok Basuki Tjahaja Purnama, tapi Hary Tanoe merasa lebih nyaman, jika menentang aoalagi berhasil menjegal Ahok.
Tidak hanya itu, di kubu Anies – Sandiaga itu sendiri bergabung beberapa anak Presiden Soeharto, di antaranya Mba Tutut. Pemilik TPI yang dikalahkannya dalam sengketa kepemilikan.
Namun begitulah politik. Kata banyak orang, politik itu tidak mengenal lawan dan kawan yang abadi.
Bahkan lawan dan kawan itu, baik kualitas maupun degradasinya, kalau di Indonesia katanya sangat ditentukan oleh faktor “U” atau Uang. *****
*) Penulis adalah jurnalis senior sejak era 1970-an, dan banyak melahirkan kader wartawan serta membina media di daerah, termasuk Harian Pagi CAHAYA SIANG.
**) Tulisan ini disadur langsung atas izin bung Derek Manangka kepada salah satu muridnya: jr, untuk ‘Cahayasiang.com’.